“Akan selalu ada keajaiban di waktu sempit, kita berusaha melawan kemustahilan. Selalu meminta petunjuk kepada yang Maha Kuasa.”
Kalau ditanya, keajaiban di waktu sempit. Ibarat, kata lain—mukjizat. Tidak akan pernah datang kedua kali, dengan cara yang sama. Karena itu semua adalah hak Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang berusaha dan berjuang.
Saat Kejurkab 2023 tahun lalu, rasanya ajaib sekali. Sangat ajaib. Kalimat itu seakan jadi mantra. Kalimat yang tidak serta merta diucapkan dalam keadaan berbangga diri, dan takabur. Kalimat-kalimat yang sengaja dirapal, di saat-saat terhimpit, sempit dan terjepit. Tidak pernah tidak menangis, bila harus mengingat. Aku yakin, semua pernah tahu dan ingat kisah-kisah itu terjadi.
Tidak perlu diceritakan, bagaimana proses. Mendarah. Karena hari ini, yang sedang berlangsung. Memang tidak akan pernah dibandingkan dan diulang. Sama-sama, menjadi sebuah perjuangan. Tapi, buang jauh. Sebuah harapan untuk mengulang keajaiban yang Allah berikan, dengan cara yang sama. Allah itu Maha Besar. Allah itu Maha Kuasa. Siapa sangka?
Dimulai, sejak uji coba lapangan. Anak-anak yang selalu merasa minder. Karena memang tidak punya dukungan materiil, secara psikologis. Dukungan itu ada, tapi bagi yang ikut memedulikan. Walau di hari, saat lomba berlangsung itu. Beberapa orang datang untuk menonton, atau memberi semangat. Tapi, rasanya sangat berbeda dengan hari ini. Mereka sudah punya semua hari ini, —uang, dukungan, fasilitas, juga pelatih yang digadang-gadang. Jangan harap, tahun sebelumnya. Kami terkesan memaksa, kami diremehkan, “… memangnya bisa niup?”. Kalimat-kalimat itu, membuat hati kecil berderak.
Melihat kapasitas lawan, serba ada, serba punya. Malam itu, aku sebagai manager memang belum sempurna menghibur satu-persatu hati kecil. Aku hanya bilang, dahulu saat perang-perang di zaman sahabat Rasul, pasukan mereka juga sedikit. Tapi, mereka menang. Karena keteguhan hati mereka, karena doa-doa mereka.
Aku ingat, ada salah satu dari mereka menyeletuk. “Oh iya, ya. Di sekolah kita ini, semuanya Muslim. Mereka boleh punya harta, tapi kita itu punya doa, Rek.”
Setiap kali, sebelum mereka memulai lomba. Hal-hal kecil yang selalu kuingat, adalah doa. Aku tahu, mereka bisa berbesar hati karena mereka masih ada yang mau menemani, mendoakan, dan memperjuangkan. Walau kecil, walau sedikit. Mereka punya rumah, untuk bisa kembali pulang.
Memang, paling dramatis. Saat sebelum LBB masuk ke dalam GOR. Anak-anak itu, penuh dengan ketakutan, penuh khawatir. Mereka hanya takut, bila harus kecewa dan mengecewakan. Selama latihan, pelatih selalu menyampaikan ke-tidakmaksimal-an. Belum mencapai titik sempurna. Sedangkan ini, adalah kali pertama mereka harus tampil di depan penonton yang bersorak riuh di dalam gelanggang.
Aku ingat, bagaimana menghibur dan membesarkan hati mereka. Di bawah pohon Mangga, depan GOR Tawangalun itu. Aku mengucap doa-doa, melafalkan surat Al-Insyirah berulang kali. Aku menyebut satu-persatu nama mereka. Agar mereka bisa melakukan tugas mereka dengan baik.
“Anak-anak, kita bisa tampil dengan baik. Kalian bisa meniup trumpet dengan baik, memukul bass dengan tepat, kalian menghafal not dengan baik, kalian menginjak garis-garis point …” —masih panjang sekali, mantra dan sugesti itu diucapkan. Aku lupa bagaimana jelas dan lengkapnya. Semua itu, ada dalam rekaman yang diunggah Pak Hariyono, tapi sayang aku tidak menemukan videonya.
Kemudian, saat sebelum masuk ke dalam gelanggang. Kami berbaris di depan pintu, menunggu peserta sebelumnya menyelesaikan performanya. Hanya tersisa ketar-ketir. Aku tidak pernah tega, dan iba. Mereka merasakan gemetar, dan gelisah. Aku hanya bisa mengusap kaki-kaki mereka, membacakan Al Fatihah, dan shalawat Nabi. Entah, bagaimana orang-orang di sekitarku membicarakan. Tapi, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku hanya berharap, agar mereka bisa melakukan yang terbaik.
Pertunjukan-pun berlangsung. Ajaib, anak-anak itu hebat. Luar biasa. Mereka tampil dengan sempurna, mereka tampil dengan tepat waktu, mereka tampil dengan penampilan terbaik mereka. Setiap garis-garis point, yang mereka harus selesaikan misinya. Mereka menginjak, tanpa harus menginjak garis merah. Setiap orang merekam penampilan yang sempurna itu. Iya, sempurna.
Walau kecil hati, karena diremehkan siapapun yang tak menilik perjuangan itu. Tapi, kami bangga. Kami bahagia sekali. Entah bagaimana, perasaan kami saat itu.
Tapi, keajaiban itu memang datang di saat itu saja. Allahu Akbar! Karena memang tidak pernah terduga, bila Allah memberikan suatu pertolongan dan bala bantuan. Barangkali, pertolongan itu di luar nalar kita. Tapi, begitulah Allah menolong.
Sangat kemenangan itu tiba, tangis pecah haru, sejadi-jadinya. Kami bangga, dan bahagia itu belum bisa tergantikan. Aku selalu bangga dan bahagia bila kembali menceritakan.
Bila ingin diulang, untuk perjuangan hari ini. Bisa saja, keajaiban itu ada. Tapi, biarlah Allah yang menentukan. Allah selalu tahu, apa yang selalu ada dalam hati setiap hamba-hambaNya yang mau berjuang.
Mintalah doa, dan saling mendoakan.
Tulisan ini, sebagai pengingat dan kembali menghirup ruh-ruh perjuangan, ruh-ruh untuk bisa kembali menghadapi ujian-ujian yang luar biasa. Semoga Allah senantiasa beri kemudahan.