Ada banyak kenangan, yang masih tersisa. Sebetulnya, bukan sebab move on seperti layaknya mencintai seorang kekasih, kemudian tidak bisa melupakan begitu saja. Salah besar, kalau hanya dipikir dengan sempit akal dan hati. Lebih dari itu, banyak peristiwa dan kejadian luar akal dan nalar. Karena banyak keajaiban dan pelajaran itulah, kita bisa lebih bijak dengan banyak ujian-ujian yang selanjutnya kita hadapi. Begitulah, hidup. Sepandai-pandainya seseorang, adalah orang yang pandai mengambil hikmah.
Aku jadi ingat, banyak peristiwa dan kendala yang dihadapi. Saat sebelum anak-anak berangkat Kirab. Kalau saja, saat itu aku tidak bisa menenangkan diri dan belajar berfikir jernih menemukan solusi, aku akan menghancurkan dengan kemarahan besar. Karena terlalap emosi, dan api kemurkaan atas masalah-masalah yang datangnya mendadak, tidak terpikir sebelumnya.
Bukan tidak mempersiapkan, tapi terkadang kita sering kali diuji dengan suatu hal yang tidak terpikir. Sudah benar-benar dirincikan matang. Tapi, apalah takdir berkata. Ini adalah ujian.
Hari itu. Jum’at, 22 Desember 2023.
Setelah menyelesaikan lomba Padarampak, di pagi hari. Lepas shalat Jum’at itu, anak-anak segera melanjutkan kompetisi setelahnya, Kirab. Semua orang tergopoh-gopoh. Tidak ada yang tidak. Setiap pengurus paguyuban juga sibuk, mendandani anak-anaknya, mempersiapkan konsumsi, dan mengawasi. Saat itu, peserta Kirab Drumband Kejurkab diberangkatkan di titik kumpul depan GOR Tawangalun. Semua peserta dari setiap jenjang menghias unit-nya dengan penuh meriah, penuh hias. Warna-warni mengkilap, menyesuaikan tema.
Saat itu, kami tampil dengan baju kebanggaan, seragam yang penuh drama dan perjuangan. Seragam yang kita dapatkan, dan pertaruhkan, penuh air mata tangis dan bahagia. Seragam kebanggaan, warna putih hitam, dan biru emas, dihiasi dengan garis lis emas. Juga, topi-topi sisa angkatan tahun lalu, tetapi hanya kita ganti bulu topi, menjadi warna putih. Cantik menawan dan gagah, bila anak-anak itu mengenakan. Apalagi dengan bangga, mereka melompat bersorak mengangkat piala.
Bangga, sangat bangga.
Kemudian, kami semua berkumpul di tempat yang telah ditentukan panitia. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan panitia, pukul 1 siang. Kami bergegas, menuju lokasi. Semua alat musik, dibawa oleh tim official menuju lokasi. Seingat kami, gudang sudah bersih dengan perlengkapan yang dibawa. Tidak tersisa. Semua anak diberangkatkan. Sedangkan yang menjadi sapu jagat mengecek printilan yang tersisa, manager dan salah satu pengurus paguyuban.
Selain kami bingung, mendandani anak yang memegang banner untuk kirab. Saat itu, baru dipilih dan diberi kabar. Kami belum mempersiapkan, dan berpikir. Dengan baju apa, mereka akan tampil berbaris. Tercetuslah, untuk memakai baju seragam GWMBi yang lama. Bertopikan udheng osing, —Pokoknya, cocok dan sesuai seragam.
Tapi, yang menjadi sebuah musibah kali ini. Kita kehilangan satu seragam. Baju seragam itu hilang. Padahal, kami sudah perhitungkan sesuai dengan jumlah pemain. Setelah lomba Padarampak, kemudian baju itu dikumpulkan untuk dipakai teman selanjutnya. Tidak perlu dibawa pulang. Urusan untuk menjadikan kenang-kenangan itu, adalah urusan belakang. Tapi, kembali lagi.
Satu seragam itu hilang.
Aku marah, marah besar. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Aku menyebut, merapal kalimat-kalimat thayyibah; istighfar, istirja’, laa haula wa laa quwwata illa billah.
Aku hanya takut, anak-anak itu terlambat dan akhirnya terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Baju itu, dipakai oleh salah satu pemain inti. Sedangkan, kemudian ada salah satu pemain yang belum hadir. Emosi kami semakin memuncak, ketika semua orang sudah siap di tempat, sedangkan satu pemain yang belum hadir ini, sulit dihubungi. Entah, bagaimana orang mendengar di pesan suara di grup pemain, maupun paguyuban. Marah, ketika mendengar. Bercampur emosi dan nada tinggi. Tidak pantas didengarkan.
Tanpa pikir panjang.
Setelah pemain yang terlambat ini, menampakkan diri. Aku menarik tangannya, untuk segera mengganti bajunya, dengan baju yang lama. Entah, bagaimanapun satu pemain inti ini, harus memakai baju seragam. Kami berpikir, semoga ia bisa diandalkan. Sedangkan, satu pemain yang terlambat ini, kita pikir nasib belakangan. Pasti ada solusi. Petunjuk itu selalu datang, Allah selalu mudahkan.
Tiba di lokasi.
Setelah semua pemain itu lengkap, dengan seragam kebanggaan kita semua. Kami mengecek dan menghitung jumlah pemain yang sudah hadir. Nahas, musibah itu kembali datang.
Harness Marching Bell, tidak ada.
Bayangkan, setelah disulut api kemarahan soal baju yang hilang, entah siapa yang pakai. Kemudian, datang kabar bahwa alat perlengkapan itu tertinggal. Astaghfirullah.
Berilah aku petunjuk.
Akhirnya, aku memanggil satu pemain yang terlambat tadi untuk bertukar pakaian dengan pemain marching bell. Karena, dipastikan pemain marching bell ini tidak bisa memainkan alatnya. Sedangkan pemain yang terlambat tadi, memainkan alat musik, trumpet. Setidaknya, ia bisa tampil.
Tanpa pikir panjang, dua anak ini kutarik sampai menuju ruangan, untuk menukar baju. Syukurnya, ada satu kamar mandi yang letaknya cukup tersembunyi. Akhirnya, pemain trumpet itu tetap masuk ke barisan. Sedangkan, pemain satunya tetap mengikuti kirab, tetapi masuk ke dalam barisan yang memegang banner.
Petunjuk itu selalu ada, walau di waktu sempit. Aku yakin, Allah akan memberikan hadiah kepada orang-orang yang meminta kepada-Nya.
Sebelum anak-anak itu menyusuri rute kirab. Rute yang cukup panjang. Dimulai dari GOR Tawangalun, dan akhir di titik Stadion Diponegoro. Aku mengusap setiap kali anak-anak itu, aku menepuk pundak dan membacakan doa-doa yang bisa kuhafal, kemudian memberikan minum —yang sudah kubacakan sedikit banyak doa, agar mereka kuat, dan selamat. Aku hanya berharap, mereka bisa tampil dengan penampilan terbaik. Walau entah siapapun, yang menonton dan mendukung. Aku tak berpikir, dan mengharap kehadiran siapapun. Aku hanya berharap, anak-anak itu punya prestasi yang dibanggakan.
Sebelum tiba di garis finish.
Datang sebuah kabar. Kabar yang sangat membahagiakan, kabar yang kemudian semakin menyemangati, membakar api perjuangan selanjutnya. Coach kami memberi kabar: “Selamat, Bu Manager. GWMBi meraih juara 1 lomba Padarampak.”
MasyaAllah, Alhamdulillah.
Bahagia, sangat bersyukur. Luar biasa. Rasanya, api kemarahan yang tersulut siang hari itu, diguyur dengan air embun yang menyejukkan. Aku menangis, aku terharu.
YaAllah, terima kasih. Anak-anakku berhasil.
Tidak berhenti-henti, aku mengucap tahmid atas kesyukuran dan keberhasilan. Tapi, apakah perjuangan ini sudah usai. Belum, kali ini aku harus kembali membakar api membara, ketulusan perjuangan, kemenangan yang dinanti oleh Tim LBB. Bagaimanapun, mereka semua juga harus mengangkat trophy kebanggaan itu bersama, bersorak dengan suara gemuruh yang sama.
Ruh perjuangan itu, selalu kuingat. Kalau harus diceritakan, kalimat-kalimat ini tidak cukup menceritakan kebahagiaan yang tercipta. Semoga prestasi itu selalu dikenang, dan kita semua bangga pernah memperjuangkan bersama.
Tidak akan lupa, juga tidak akan hilang, setiap kisahnya.