Perayaan yang tidak pernah selesai. Mungkin, kalau sudah lewat masanya, bahkan orang lain tidak ingin dan bosan merayakan, kita juga tetap merayakan itu sendirian. Bahagianya masih tetap terasa, syukurnya tidak pernah habis, kalau harus menangis, ya menangislah. Kalau minta untuk diceritakan, juga lisan tidak pernah kelu bicara, tiada habisnya.
Hari ini, tepat setahun lalu.
Semua kesyukuran itu tercurah, sorak sorai bahagia. Pekik bahagia memenuhi ruang GOR Tawangalun. Petang itu, tidak ada yang menangis kecewa. Semua bahagia, memeluk rasa lelah dan amarah dengan kebahagiaan yang tidak bisa digantikan. Kalau hanya menghitung dengan hitungan hari, hanya sekisar hitungan jari. Bayangkan, bila menghitungnya per-detik? Kenangan itu diulang dengan durasi yang lama sekali.
Dalam kata kemenangan itu, memang selalu ada kata kenangan.
Kalau ditulis menurut kronologi peristiwa, ada beberapa bagian peristiwa yang rasanya menyakitkan untuk diulang. Tapi disitulah prosesnya. Rasa sakit, dan kecewa karena dianggap tidak mampu untuk bisa menempuh dan memperjuangkan suatu kebanggaan itu, punya luka yang dalam. Merasa tidak siap, karena memang belum pernah punya suatu pengalaman yang menjanjikan. Harus dipaksa keadaan. Suatu hal yang dibubuhi komitmen, haruslah bisa menempuh perjuangan. Sedangkan, perjuangan itu ternyata hanya punya waktu tempuh yang tidak panjang. Tahun-tahun yang penuh dengan sesak. Ternyata, Allah selalu punya cara yang manis sebagai penawar.
Berjabat tangan, penuh dengan tangis dan tawa. Mau tidak mau, siap menghadapi. Tidak ada mantra khusus, untuk menghadapi. Berbekal niat tulus untuk memperjuangkan. Kita tahu, kita tidak pernah sendirian, Allah selalu menemani. Keputusasaan karena bukan sekali dua kali diragukan atau diremehkan. Tapi, semua pihak saling beradu. Yang satu bilang ‘kamu tidak mampu’ sedangkan yang satu, ‘kapan lagi, kalau sekarang tidak mau?’. Berangkat dengan gontai, pantang putus, menerjang arang merintang.
Dahulu, pernah sesekali mendengar. Keterbatasanmu, adalah kekuatanmu. Dengan kekuatan tenaga, hanya sedikit yang kita punya. Bahkan, dahulu kita juga selalu dijanjikan bahwa “kita tidak punya biaya!” Ucapan itu selalu terdengar. Caci benci itu riuh menggelegar, berisik. Apa sebab, Allah memberi pintu, tapi tak memberi kunci?
Masalah Rincian Anggaran
Seumur-umur, kami belum pernah punya pengalaman. Walau bertitel sebagai pembina, ya cukup sebagai pendamping saja. Tidak perlu melatih, tidak perlu mengurus keuangan, mengurus ini, itu dan sebagainya. Kelola saja, dan atur disiplin latihan anak-anak, dan kondisikan saat latihan. Omong kosong, semua berbalik seratus delapan puluh derajat. Menjadi pembina, juga selayaknya mengerti walau tidak mengurusi. Hal-hal kecil itu yang kemudian memusingkan. Setiap hari mengeluh, berpikir dan kembali berulang. Ya Allah, berilah kami petunjuk. Semoga Allah mudahkan.
Tiba, mengawali langkah juang itu terengah-engah. Setiap hari, rasanya seperti dikejar-kejar. Baru menarik nafas sebentar, kemudian dicambuk seperti kuda pedati. Rapat demi rapat, guna menentukan mufakat. Berbagai musyawarah, seperti adanya dibentuk sebuah paguyuban. Para orang tua hadir, untuk mendukung putra dan putrinya mengikuti perlombaan. Segelintir, seorang dua orang datang. Ada yang mendukung, ada juga yang menentang. Ada yang diam, ada juga berteriak lantang.
Sebelum akhirnya, menghadap dengan dada yang lapang ke pihak sekolah. Rumusan-rumusan itu digenapkan. Anggaran yang dirancang dengan mata kelilipan. Sebenarnya, pihak sekolah ini sudah muak, seraya selalu mengatakan. “Sekolah ini belum mampu, anak-anak ini belum siap. Tidak ada biaya besar. Kalau mau berangkat, ya dari paguyuban.” Kira-kira seperti itu.
Pertemuan demi pertemuan itu diadakan. Mondar-mandir, menghadap pengurus paguyuban, menghadap parlemen madrasah. Belum ada mufakat, belum ada syafaat. Tapi, dengan suara-suara hati kecil dan doa-doa orang yang tulus itu, kami hanya mengucap: Ya Allah, bismillah berangkat!
Tidak Ada Biaya, Sponsor Ada?
Setelah kata berangkat itu ada, otak ini berputar? Darimana uangnya? Berbagai ajuan proposal itu dibuat. Kami ingat, belum sempat pulang ke rumah, sedangkan rincian anggaran itu dinanti esoknya. Kata orang dan berbagai pengalaman, biaya itu bisa ditambah dari berbagai sumbangan. Dengan biaya empat ratus ribu per-kepala, sedangkan rincian anggaran perbaikan alat, kontrak pelatih, dan juga anggaran-anggaran lainnya. Ya Allah, kami dapat uang dari mana? Belum sempat berfikir jernih. Sempat berkomunikasi dengan beberapa orang tentang relasi dan pengalaman sponsorship. Segala upaya dan kemungkinan itu dipikirkan. Matang atau tidak matang, senantiasa berdoa. Ya Allah, kenapa begitu susah? Berilah kami petunjuk.
Terhitung beberapa kali, datang dengan kepala tegak ke kantor distributor. Berbekal map dan lembaran proposal sponsorship; Lomba Kejurkab Drumband 2023. Harap-harap senang bisa membantu sepeser uang, atau makanan minuman. Kalau tidak salah ingat, kami sempat mendatangi ke Stand Teh Ayu, tapi harus menghubungi direktur pusat di Mojokerto. Nihil. Lalu, mendapat info lagi untuk pergi ke kantor distributor Wings dan Wings Food, sore itu kami menitipkan ke sekuriti. Mendapat kontak yang dapat dihubungi, kami hanya mendapat jawaban, “Wah, sampean telat, Mbak. Banyak agenda akhir tahun ini, dan kami memilih untuk memberikan ke pihak lain.” Ya, tetap dicoba lagi.
Esoknya juga hampir seharian, membawa lembaran sponsorship yang dicetak beberapa kali untuk beberapa penerima. Datang ke distributor Aqua, hanya mendapat jawaban bahwa “atasan kami sedang mengalami reshuffle, pergantian sertijab, belum ada pengganti pasti.” Kami masih ingat, setiap jawaban-jawaban yang diberikan. Tidak putus asa, lalu bertanya kepada penduduk sekitar. “Kantor distributor Mayora dimana?” Hanya di sekitar lingkungan itu saja, tapi blusukan. Masuk gang-gang tikus, sampai menemui gudang-gudang berisi produk-produk yang akan di-supply. Selain itu, kami juga mendatangi kantor Nestle, yang ternyata sudah tutup. Pindah lokasi, berujung nyasar. Kantor Nabati, Indofood. Tapi tetap, apa hasil yang didapatkan. Nihil.
Ya Allah, dari mana kita dapatkan uang?
Konflik Latihan
Ingat sekali, awal mula latihan. Menurut google photo, yang mendokumentasikan setiap perjalanan latihan. Tertanggal 12 Oktober 2023. Karena kondisi dikejar detik jam, kami terpaksa harus mulai rutin latihan sore sampai malam. Pelatih senior kami, membawa pelatih yang diundang, pelatih kontrak. Setelah mengalami konflik pelik di Madrasah. Isu yang terdengar, adalah keinginan paguyuban untuk menggeser pelatih tetap madrasah, dengan pelatih yang akan ditawarkan oleh paguyuban. Punggawa GWMBi tentu tidak terima dan marah. Semua isu tersebar, menarik telinga orang-orang memaksa mendengar. Kacau sekali. Kiranya pelatih sepuh ini juga berpikir panjang dan memutar otak. Dengan status dan juga posisi yang bahkan akan dijegal. Akan membawa siapa? Ya, ternyata pelatih undangan dengan julukan pelatih LBB terbaik Banyuwangi itu datang. “Beliau ini tidak diragukan lagi, pelatih LBB terbaik di Banyuwangi.” Masih teringat jelas. Itu sanggahan yang disampaikan pelatih sepuh.
Malam itu, sudah mulai latihan. Jumlah anak-anak yang berkomitmen untuk mengikuti kompetisi, semakin menyusut. Dari sekitar tujuh puluh, kemudian menyusut menjadi sekitar lima puluhan, dan berjumlah empat puluh dua anak. Tidak masalah, bukan kuantitas yang jadi prioritas. Kualitas itu utama.
Seleksi alam itu terus berlangsung. Awal-awal latihan, sungguh membuat risau. Barangkali, cuaca alam tidak masalah. Tapi kalau cuaca polemik, aduan-aduan, kritik yang menggelitik. Satu persatu, belajar untuk dihadapi dengan bijak. Pelik sekali. Anak-anak ini sudah menghabiskan waktu yang panjang di sekolah, mereka belajar. Kemudian, harus mengenyam waktu lagi. Belum istirahat, belum makan, dan belum-belum lainnya.
Semua orang juga bertukar pikir, saling beradu saran. Semuanya fokus pada solusi. Kami tidak bisa berjalan sendirian, belajar merangkul semuanya. Kami mengerti, ada orang yang mau berjuang, juga banyak yang ingin diperjuangkan. Tapi sedikit, yang mengerti kata perjuangan.
Kalau tidak lupa, banyak yang menyinggung soal makanan, soal gorengan. Jujur, saat-saat itu memang tidak banyak biaya. Uang-uang hasil kondangan itu, belum bisa kami kelola dengan tepat. Jadi, konsumsi anak-anak bergantung pada sukarelawan saja, donatur paguyuban. Sempat berdebat panjang di grup, hanya karena diberi gorengan, sedangkan anak-anak ini harus menjaga kesehatan fisik mereka. Ya, banyak ragam. Masalah kecil, soal perubahan jadwal latihan, juga formasi-formasi terpilih, antara LBB dan Padarampak. Semua bisa saja jadi konflik. Tidak bisa, menyikapi dengan kepala yang panas. Semua perlu mengambil evaluasi dan apa yang harus dibenahi kemudian.
Mereka yang Merasa Terpisahkan
Ada momen-momen tertentu, yang harus menguras hati. Soal formasi-formasi yang dipilih oleh para pelatih. Tentu memiliki pertimbangan. Bukan hanya soal ketimpangan atau tenggang rasa persahabatan. Anak-anak yang dipilih di tim Padarampak, bukan berarti lebih rendah. Begitu pula, yang mengikuti LBB. Tidak juga menjadi lebih tinggi derajatnya. Semua sama, punya keunggulan dan kemampuan masing-masing.
Tentu ada porsi latihan yang mereka nikmati, juga masa istirahat yang sama rasanya. Tapi, awal-awal saat jadwal latihan itu dipaparkan oleh setiap pelatih. Satu sama lain, jadi punya jarak. Di pagi hari mereka bisa nongkrong di kantin bersama, kemudian di sore atau malam hari. Mereka jadi musuh, seperti tidak kenal. Saling berkata sok tidak kenal. Padahal hanya soal beda jadwal latihan. Urusan siapa pelatih dan pembinanya, kita semua sama-sama memiliki. Kita satu tim, satu kesatuan.
Puncaknya, suatu malam. Beberapa ngambek, dan mogok latihan. Ada beberapa anak yang punya perasaan, bahwa tim LBB jauh lebih spesial dibandingkan tim Padarampak. Kesal hati, karena merasa bahwa jadwal latihan LBB lebih padat, sedangkan Padarampak hanya mengikuti kestabilan mood pelatih, atau menyesuaikan jadwal sekolah asisten pelatihnya. Malam itu semua anak dikumpulkan. Baik pembina atau mama-mama juga ikut berkumpul. Menanyakan sebab, saling tuduh sana-sini. Malam itu, banyak drama. Entah benar-benar menangis atau tidak, suasana emosi kami juga sedang kacau-kacaunya. Tapi mau bagaimanapun, “njenengan ini ibunya anak-anak.” Perasaan sayang, perhatian dan perjuangan juga harus bernilai sama. Tidak ada yang beda.
Sebisa mungkin, kami harus tahu kabar semuanya. Anak yang satu sakit, semua juga merasa sakit. Anak lainnya senang berbahagia, semuanya juga pantas merayakan bersama. Tidak ada beda, di luar jam latihan. Kita juga masih bisa nongki-nongki bersama.
Perjuangan Menembus Rupiah
Urusan biaya dan anggaran, masih berputar liar di kepala. Entah, darimana dapat biaya. Sekolah sudah memutuskan untuk memberi anggaran sekian. Jauh dari cukup, kalau memang kurang, amat sangat. Hanya memberi untuk biaya pendaftaran, biaya sewa lapangan dan juga insentif pelatih sepuh. Selebihnya, mari kita fikirkan bersama.
Akhirnya, solusi untuk bisa mendapatkan biaya tambahan itu ada. Kalau dibilang biaya sponsorship, sepertinya kurang tepat. Lebih tepatnya, kita mendaftarkan koperasi sekolah menjadi anggota distributor produk. Kami mendaftarkan diri sebagai outlet, kemudian biaya untung itu tidak terhitung untuk dikembalikan. Sisa dari untung itu, bisa kita ambil upah dan menjadi biaya tambahan untuk berangkat lomba. Kira-kira seperti itu, kami tidak bisa membahasakan dengan tepat.
Syaratnya, kita memilih beberapa produk yang sekiranya bisa kami promosikan dan jualkan. Ada susu kotak, kopi kemasan dan sachet-an, roti croissant, permen-permen. Semua elemen yang mendukung, turut berkontribusi. Mau tidak mau, kita menyamar sebagai sales pengedar. Bagaimana kita bisa jadi promotor, mengelola pemasukan dan pengeluaran. Momen yang tidak pernah bisa terlupakan, adalah saat kita keliling berjualan. Kita promosi, berkeliling dari kelas ke kelas, ruang ke ruang.
Puncak acara, memang di masa-masa akhir masuk kelas. Membuat stand di pojok kantin. Kami tentu meminta izin pada pihak sekolah, pada pengurus koperasi, pada jajaran wakil kepala sekolah. Meminta izin untuk bisa berjuang menembus rupiah. Kalian kira, kita mendapatkan segalanya hanya dengan tidur nyenyak dan sekadar menyodorkan tangan-kah? Kami memperjuangkan, dan dari hal-hal kecil yang tidak terasa bagi orang itu, yang membuat kita selalu bangga.
Dari kelas ke kelas, kami menjual minuman-minuman dari olahan produk sponsorship itu. Ada juga, barangkali yang ingin membeli dalam bentuk paket sepuluh ribu-an. Sepulang sekolah, istirahat sejenak. Melanjutkan latihan, sampai hampir tengah malam. Capek? Tidak, kami bangga. Karena kami mengerti, bagian dari perjuangan. Sempat diremehkan, karena hanya dapat sedikit untung dari hasil penjualan. Setidaknya, hasil upah itu bisa digunakan untuk membeli penawar haus dan lapar saat padat latihan. Kami bangga, dan bersyukur. Lewat penghasilan-penghasilan yang jelas kami tahu itu, kami bisa berangkat bersama.
Menyucikan Kembali Lapangan
Padatnya jadwal latihan, menguji mental. Setiap hari, ujian bukan hanya di lembar soal. Banyak yang harus bisa dirincikan, dipikirkan matang. Soal track lapangan ini, cukup ribet. Karena harus berkali-kali izin, ‘mencoret’ lapangan.
Madrasah kami, punya lapangan cukup luas, fasilitas cukup memadai. Kiranya, doa restu belum tercukupi. Program dan juga progres latihan yang berlanjut, membutuhkan beberapa permintaan yang bisa terpenuhi untuk keberhasilan progres latihan. Kami sempat izin ke madrasah, perihal membuat track di lapangan. Tapi, tidak bisa kalau harus dikotori dengan pylox. Karena masih ada beberapa kegiatan-kegiatan akademik maupun non-akademik di madrasah. Pada akhirnya, hanya sekadar membuat garis track dengan lakban hitam dan silver. Kapan mengukur lapangan? Membuat garis dengan lakban? Siang hari, atau sore hari? Tidak, waktu latihan yang sangat minim. Mengejar target, dan kami harus melakukan itu di malam hari, lepas latihan. Jam sembilan malam itu, masih sangat sore. Belum juga dilanjutkan evaluasi, membahas solusi.
Entah, pada akhirnya saat itu Coach meminta untuk membuat track di lapangan depan asrama madrasah. Karena kemungkinan, lapangan utama madrasah tidak bisa sepenuhnya difungsikan, akhirnya kami berniat untuk membuat track itu di lapangan depan asrama. Malam itu, anak-anak yang tersisa dan sanggup untuk membantu itu. Mulai mengukur setiap inch lapangan. Dengan teliti, menggarap sesuai instruksi yang Coach arahkan. Walau memang tidak rapi-rapi sekali. Setidaknya lintasan itu bisa digunakan saat latihan, cukup membantu.
Esok pagi, tibalah kabar. Bahwa, beberapa pihak madrasah tidak setuju bila lapangan itu ‘kotor’. Sebenarnya bukan sepenuhnya tidak setuju, andai bila garis yang dibuat lintasan itu sempurna. Maka, tidak apa. Ternyata, lintasan itu hanya berupa bayang-bayang pylox yang samar. Belum lagi, beralasan bahwa esok hari ada tamu dari pusat, berkunjung di asrama. Jadi lintasan itu, cukup mengotori pemandangan. Lintasan itu harus segera dibersihkan.
Marah tidak?
Tidak, masalah itu segera dikonsultasikan. Ya, malam itu kita semua berpikir keras untuk menghapus jejak pylox yang tersisa. Bersikeras, menggunakan bensin, menyikat lapangan, berbagai cara dipikirkan. Tapi tetap, bayangan pylox itu masih saja membekas. Menggunakan sabun, dan juga sikat wc jumbo, juga masih tidak bisa hilang.
Wangsit dari mana, tiba-tiba ada yang menyarankan. “Coba dibersihkan pakai pasir dan air? Mungkin bisa?” Juga yang lain menyahut, “Mana mungkin, sayang sama es-nya.” Masih tetap ngeyel. Tapi, karena memang memaksa. Air es yang sedang diminum itu, tetap saja dituang. Alhasil, ajaib! Garis-garis pylox itu memudar. Semuanya menyorak, dan bergembira. Ide cemerlang juga, entah terinspirasi dari bab fiqh soal thaharah, membersihkan najis mughalazah. Kalau dipikir, seperti menyucikan dari air liur Anjing, atau entah terilhami seperti apa.
Ya, lintasan track yang baru dibuat semalam sebelumnya. Juga harus dibersihkan, di hari esoknya. Hal-hal yang kadang tidak pernah terpikir, dan bagi kita menguras waktu yang panjang, justru jadi kenangan. Kalau tidak seperti ini, kita tidak mungkin bisa mengulang-ulang cerita sampai berbusa. Itu perjuangan.