Pergolakan dalam hal kurikulum pendidikan di negeri kita, menjadi hal lazim bagi seluruh lintas generasi. Bukan hanya bagi pendidik dan peserta didik, tetapi keresahan ini juga sangat mendominasi para orang tua, yang sangat berharap akan keberhasilan anaknya. Terhitung, hampir 11 kali mengalami pergantian kurikulum sejak tahun 1947 hingga kini. Adapun kurikulum yang sedang diterapkan saat ini adalah Kurikulum Merdeka Belajar yang diusung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem.
Banyak kritik dan saran, kesan dan pesan terkait kebijakan. Belum lagi, permasalahan yang menjamur di setiap lapisan masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini tidak merata, saling tumpang tindih, ketimpangan. Belum selesai memahami, dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan sebelumnya, lalu dipaksa untuk menerima dengan legowo kebijakan selanjutnya. Baiklah, mungkin terbilang mudah bagi sekolah yang notabene sesuai dengan kualifikasi Mas Menteri; fasilitas tercukupi, SDM yang memadai, lingkungan yang mendukung, para orang tua yang mampu dan suportif dan masih banyak lainnya. Lalu, bagaimana dengan kami di kota ujung Pulau Jawa, yang harus beradaptasi dengan hal tidak serupa? Tentu jomplang, berat sebelah dan tidak seimbang.
Hadirnya teknologi, memang tidak bisa terus disalahkan. Teknologi memang hadir untuk memudahkan segala pekerjaan manusia. Mereka menciptakan, mengatur, lalu memfungsikan. Memang sudah tidak asing, apalagi semenjak pandemi merebak, kecerdasan buatan sudah menjadi sahabat. Sayangnya, tidak semua memahami dan kemudian memfungsikan dengan bijak. Misal, hadirnya Chat GPT sebagai alat untuk mempermudah diskusi dan menuangkan ide untuk ranah kehidupan. Faktanya, kita semua terlalu percaya bahwa AI (Artificial Intelligent) bisa menggantikan tugas guru di sekolah. Anak-anak sudah tidak perlu membaca dan sibuk mencari referensi, sibuk mendengarkan penjelasan guru yang membosankan, tidak menarik. Belum lagi harus berhadapan dengan karakter pengajar yang menakutkan, pemarah, suka mem-bully para siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar. Ini bukan hanya sekali dua kali. Sejujurnya, para siswa tidak pernah berfikir dan merindukan gurunya saat mengajar di sekolah. Mereka hanya ingin bertemu sahabatnya, karena juga malas dan tidak betah di rumah.
Problematika seperti ini, tidak pernah disadari oleh individu pendidik sendiri. Padahal, komponen utama dalam kegiatan mendidik itu sendiri adalah kesamaan resonansi antara pendidik dan peserta didik. Tetapi, pada realitanya. Pendidik hanya berfokus pada tujuan utama dirinya sendiri; hanya mengajar dan menyampaikan ilmu. Urusan pembentukan karakter, kematangan mental, nalar yang kritis untuk bisa menghadapi permasalahan yang lebih kompleks, menjadi nomor sekian. Ya, pada akhirnya mengajar yang juga sebagai kegiatan mulia seorang guru, dimonetisasi dan hanya dijadikan ladang penghidupan bukan menjadi ladang amal.
Nalar kritis yang selalu digaungkan sebagai harapan, hanya berwujud sebagai jawaban hitam putih saat ujian. Walau tugas dalam lembar kerja siswa tertanda sebagai soal HOTS. Apakah kualitas nalar berfikir kritis juga serupa? Rasanya tidak. Mengapa? Karena penyampaian materi di kelas, jarang bahkan tidak pernah sama sekali mengajak para siswa berfikir kritis, menggunakan kemampuan berfikir yang luar biasa, memfungsikan logika yang sudah Allah karuniai pada setiap hamba. Ketakutan para siswa dengan jawaban salah, sangat mempengaruhi kemampuan berfikir bebas. Mereka memikirkan jawaban yang umum, jawaban yang tertulis di bukunya, dan juga jawaban tepat pada pilihan ganda.
Belum lama ini, Maudy Ayunda sempat ditanya, bila dinobatkan sebagai menteri pendidikan. Ia menjawab bahwa ia akan menghapuskan asesmen pilihan ganda, dan menggantinya dengan soal esai berbasis critical thinking, ia juga menyampaikan untuk mengajak anak bangsa punya hobi belajar dan mencintai ilmu seperti dirinya. Lalu, apa kabar Banyuwangi hari ini? Bila memang hal itu terjadi setelah kebijakan lama dengan menghapuskan UN, meniadakan skripsi dengan mengganti tugas yang sepadan, kemudian disusul dengan kebijakan yang hampir serupa di masa yang akan datang. Bagaimana kondisi hari ini yang masih sangat lemah dalam hal bernalar kritis? Semoga pendidikan anak bangsa, kebijakan pemerintah dan urusan mengenai masa depan semakin membaik dan juga bermanfaat untuk agama, nusa dan bangsa.