Baru beberapa minggu, menghirup udara kota. Tidak usah jauh – jauh, setidaknya mulai beradaptasi untuk berusaha mencintai oksigen kampung halaman. Ada banyak desas – desus yang terdengar. Omongan tetangga, terkadang lebih lantang didengar meskipun mereka berbicaranya bisik bisik, tanpa sahut – sahutan. Apalagi, jika memang jelas tahu kabar bahwa salah satu anak di kampungnya ada yang menjadi jebolan pesantren, atau salah satu universitas ternama. Yang menjadi suatu tantangan itu, memang saat berusaha untuk berbaur dengan masyarakat setempat, tidak cukup hanya sekedar menundukkan kepala saat berjalan sambil mengucap “nyuwun sewu” (baca: permisi). Tetapi juga harus beranjak untuk menguasai logat, bahasa dan dialek percakapan keseharian.
“Kalau mau lungguh (baca: duduk), ya harus tahu unggah – ungguh (baca: tata krama).” Kalimat ini selalu terngiang, saat menyaksikan ternyata memang banyak sekali yang harus terus dipelajari, bahkan diaplikasikan dalam ranah masyarakat. Meskipun pada halnya, sangat out of theory. Sama sekali, tidak pernah bisa disamakan, ajaran tata krama dan sopan santun; entah itu pada setiap individu, komunitas dan tentu masyarakat luas. Tantangan selanjutnya, kita harus tepat dan cerdas dalam meraba permasalahan dan cara yang tepat saat menyelesaikannya.
Alumni fresh graduate, atau ibarat ayam yang baru menetas dari cangkangnya juga masih harus bisa meraba – raba. Berusaha untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan. Tidak usah takut, dengan omongan tetangga yang harus meminta kita bagaimana. Omongan tetangga yang maunya ini, dan kampung sebelah maunya itu. Tapi, sebisa mungkin memang harus bisa menjadi air, yang bisa menyesuaikan wadahnya. Menjadi udara, yang akhirnya bisa menempati ruang dimana saja.
Begitulah, sebenarnya lumayan susah karena dulunya kami – kami ini jarang sekali pulang ke kampung halaman. Kalau pulang, paling sekitar 3 – 5 hari, mentok – mentok seminggu-an. Jadi, sangat kaget sekali. Kalau di masa seperti ini, akan ada banyak yang nimpali: “Loh, kapan baliknya? Kok ngga pernah keliatan to Mbak?” atau kalau sudah lewat beberapa hari bulan Syawal “Kapan pulang lagi ke pondok?” Sejauh ini, setelah berminggu – minggu mencoba untuk berinteraksi, ada sekitar 10 sampai 15 manusia yang melontarkan. Lalu, jawaban yang ada? Kadang se-kenanya, atau juga kadang cuma berbalas senyum manis menawan.
Bertubi – tubi, kenyataan seperti ini sering kali dihadangkan. Kenyataannya, memang tidak seperti yang kita pelajari secara teoritis dalam buku atau matkul siang dan malam. Atau sekedar tugas dan pekerjaan harian. Sama sekali, semua itu hanya menumbuhkan mental. Dan, kita hanya berusaha untuk me-mekar-kan saat kita sudah menamatkan. Manusia, siapapun itu. Hanya lebih suka menikmati dan memetik keindahan bunga dan tanpa mau tahu bagaimana proses fotosintesa, atau proses penyerbukan, hingga akhirnya berbunga indah. Kadang, manusia manapun juga tidak akan mau dengar dan tahu segala sesuatu beyond the eyes.
Untuk bisa meyakinkan kepada masyarakat sekitar, tidak bisa proses yang dilakukan sangat instan. Atau hanya sekedar menyodorkan, memamerkan, menyadurkan, atau memperbanyak lembaran ijazah kita. Tetangga – tentangga terkadang tidak banyak perduli, entah kita ini tamatan sekolah mana, pesantren mana, atau universitas mana. Mau itu tamatan SD, SMP, atau jenjang karir apapun tidak akan pernah dibutuhkan kalau tidak ada real action kita di masyarakat. Dedikasi tertinggi, bukan hanya sekedar menyumbar milyaran untuk masjid kampung. Bukan hanya sekedar merayakan perayaan atau hajatan besar – besaran. Tapi juga harus faham dengan bukti kearifan kita dalam bermasyarakat, dan lagi – lagi tentang bersosial.
Ijazah kita yang sudah bertahun – tahun didapatkan, baiknya memang tidak hanya dijadikan untuk bukti bergengsi bahwa pernah sekolah tinggi. Tetangga kita tidak akan pernah mau tahu, mengerti dan apalagi membaca. Ijazah kita ini, ya kalau mau dibaca. Paling tidak, hanya dibaca oleh HRD perusahaan, atau Staf dari instansi kantoran saja. Kalau masih tidak mau untuk keluar rumah, menghirup udara segar kampung, minimal yaa ikut pengajian mingguan, atau rewang saat hajatan tetangga itu justru menambah banyak kenalan dan pengalaman.
Jadi, jangan pernah takut untuk ditanya apa – apa seperti ujian. Tidak akan pernah tanya, lulusan apa dan nilainya berapa. Kita hanya ditanya, bagaimana kamu bisa menengahi dan menyikapi persoalan masyarakat, tanpa teori tapi tentu dengan banyak ilmu dan pengalaman yang kita punya.