Pakaian Minim Potongan, Kok Kagetan?

Beberapa hari, sebelum kami harus meninggalkan pesantren. Kami sempat bersilaturahim ke rumah guru – guru senior kami. Kami mendapatkan banyak wejangan tentang bagaimana kami harus menghadapi dunia luar pesantren, tentang masa depan, tentang masyarakat dan bahkan tentang sedu sedan kehidupan rumah tangga. Sengaja, bahkan sangat beruntung sekali untuk meluangkan senggang waktu kami untuk mendengar cerita dan pengalaman beliau semua. Indeks list pengalaman, lebih luas dan tentu terjal yang dihadapi lebih hebat. Maka dari itu, benar kata petuah lama. Orang – orang yang lebih lama hidupnya daripada kita itu, jauh lebih hebat. Karena banyak menghadapi lika – liku kehidupannya.

Ada satu pembahasan yang sangat menarik bagi kami. Tentang profil seorang alumni yang sengaja untuk menghilangkan identitasnya sebagai seorang santriwati. Umumnya, sebagai seorang santri tentu menjaga marwah-nya dengan berhijab bahkan berperilaku sholeh dan sholehah. Biasanya, jebolan pesantren itu selalu terlihat. Entah, bagaimnapun ia berusaha menutupi parasnya. Tapi, seakan kita bisa membaca di jidatnya: Saya alumni pesantren. Tidak bisa dipungkiri, meski berdempul lotion dan cushion. Ada saja gerak – gerik yang terbaca. Apalagi, jika memang ternyata satu almamater sekolah.

Singkat cerita, pernah salah satu alumni yang baru saja menuntaskan jihadnya nyantri, diajak nongkrong bersama kawan lamanya. Yang satunya berstatus pengabdian dalam pondok, alias harus menambah 5 – 6 tahun setelah tuntas sekolah. Sedangkan yang lain, hanya menuntaskan sebagai alumni MA atau sampai jenjang 3 SMA. Jelas, kultur dan tampangnya saja sudah berbeda. Status ustadz, akan terlihat lebih alim, daripada temannya satunya. Padahal, dalam urusan ilmu, pasti ada yang menjadi suatu standar dan kesamaan menurut usia mereka.

Santai, ketika diajak untuk ngopi dan sekedar ngobrol tipis – tipis. Datanglah, 2 orang perempuan. Tidak berhijab, untungnya dandanan dan penampilan sopan. Meskipun bibirnya berlapis gincu pipinya merah merona batu bata. Karena, dua laki – laki ini, dahulunya satu almamater. Mereka berdialog bahasa Arab, agar pembicaraannya tidak difahami oleh orang sekitarnya, tertuju pada dua perempuan ini. Lama setelah pembicaraan usai, perempuan ini hanya bermain mata dan senyum tertawa sinis, seperti mengejek tapi juga sok tidak tahu apa yang dibicarakan. Barulah, setelah itu. Dua – duanya meninggalkan.

“Kenapa, tadi cewek itu ketawa pas kita ngobrol?” Si alumni Ustadz ini bertanya pada teman ngopi-nya.

“Tebak, kenapa coba?” Kawannya hanya menimpali sambil menyeruput kopi yang diseduh sedari tadi.

“Emang, mereka siapa?” Ustadz itu kembali bertanya.

“Haha, mereka itu alumni pesantren kita juga. Alumni, sekitar tahun sekian. Mereka berdua, masih sangat faham dengan Bahasa Arab. Apalagi logat ente barusan. Pasti ngga percaya kan?”

“Hah? Beneran? Kok, pakaiannya minim – minim potongan?”

“Ngga usah kaget, Bro! Di luar, sudah tidak menjamin titel ustadz-mu itu!”

“Maksud ente?

“Ya, ente baru juga pulang, ketemu yang macem begitu, udah kagetan aja sih. Udahlah, pahamin aja sendiri!” Hanya dijawab tapi juga menusuk tulang rahang. Ustadz ini diam seketika.

*****

Setelah mendengar cerita seperti itu, kami sebagai santri, yang belum menetas sebagai alumni resmi, sangat – sangat tertampar. Malah, justru semakin khawatir. Apakah kiranya, kami akan bernasib seperti itu? Naudzubillah.

Bukan merasa sok suci, atau terlalu bangga dengan membawa nama pesantren. Apalagi, sombong kami bisa menjaga dan merawat nama baik pondok. Urusan seperti ini, memang jarang dan tidak pernah ditemukan. Kalaupun memang ada, mungkin sudah lama sekali kami akan diusir dari tempat kami belajar dan mengabdi. Sebisa mungkin, tidak usah untuk unjuk diri melabeli diri, bahwa jebolan pesantren akan selalu terjamin kesholehannya. Dan selamanya kita bisa memegang erat nilai – nilai yang diajarkan. Kalau hanya urusan pamer dan sok untuk mengenalkan diri, kami ini putra putri, sebagai alumni unggulan dari pesantren terbaik. Hati – hati, kita malah justru bisa terpental dari ajaran – ajaran yang bertahun tahun kita dapatkan. Semua itu tergantung dengan kesadaran dan hati kecil kita masing – masing. Tentu, suara hati kecil lah yang selalu menuntun menuju fitrah-Nya.

Mungkin, di dalam pesantren. Kita bisa menyadarkan dan mengingatkan satu sama lain. Kalau lupa daratan, mungkin bisa jadi kita adalah kacang yang lupa kulit. Sudah gitu, serabutan karena ngga tahu mau ikut madzhab trend yang mana.

Tetanggamu, Ngga Akan Baca Ijazahmu!

Baru beberapa minggu, menghirup udara kota. Tidak usah jauh – jauh, setidaknya mulai beradaptasi untuk berusaha mencintai oksigen kampung halaman. Ada banyak desas – desus yang terdengar. Omongan tetangga, terkadang lebih lantang didengar meskipun mereka berbicaranya bisik bisik, tanpa sahut – sahutan. Apalagi, jika memang jelas tahu kabar bahwa salah satu anak di kampungnya ada yang menjadi jebolan pesantren, atau salah satu universitas ternama. Yang menjadi suatu tantangan itu, memang saat berusaha untuk berbaur dengan masyarakat setempat, tidak cukup hanya sekedar menundukkan kepala saat berjalan sambil mengucap “nyuwun sewu” (baca: permisi). Tetapi juga harus beranjak untuk menguasai logat, bahasa dan dialek percakapan keseharian.

“Kalau mau lungguh (baca: duduk), ya harus tahu unggah – ungguh (baca: tata krama).” Kalimat ini selalu terngiang, saat menyaksikan ternyata memang banyak sekali yang harus terus dipelajari, bahkan diaplikasikan dalam ranah masyarakat. Meskipun pada halnya, sangat out of theory. Sama sekali, tidak pernah bisa disamakan, ajaran tata krama dan sopan santun; entah itu pada setiap individu, komunitas dan tentu masyarakat luas. Tantangan selanjutnya, kita harus tepat dan cerdas dalam meraba permasalahan dan cara yang tepat saat menyelesaikannya.

Alumni fresh graduate, atau ibarat ayam yang baru menetas dari cangkangnya juga masih harus bisa meraba – raba. Berusaha untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan. Tidak usah takut, dengan omongan tetangga yang harus meminta kita bagaimana. Omongan tetangga yang maunya ini, dan kampung sebelah maunya itu. Tapi, sebisa mungkin memang harus bisa menjadi air, yang bisa menyesuaikan wadahnya. Menjadi udara, yang akhirnya bisa menempati ruang dimana saja.

Begitulah, sebenarnya lumayan susah karena dulunya kami – kami ini jarang sekali pulang ke kampung halaman. Kalau pulang, paling sekitar 3 – 5 hari, mentok – mentok seminggu-an. Jadi, sangat kaget sekali. Kalau di masa seperti ini, akan ada banyak yang nimpali: Loh, kapan baliknya? Kok ngga pernah keliatan to Mbak?” atau kalau sudah lewat beberapa hari bulan Syawal “Kapan pulang lagi ke pondok?” Sejauh ini, setelah berminggu – minggu mencoba untuk berinteraksi, ada sekitar 10 sampai 15 manusia yang melontarkan. Lalu, jawaban yang ada? Kadang se-kenanya, atau juga kadang cuma berbalas senyum manis menawan.

Bertubi – tubi, kenyataan seperti ini sering kali dihadangkan. Kenyataannya, memang tidak seperti yang kita pelajari secara teoritis dalam buku atau matkul siang dan malam. Atau sekedar tugas dan pekerjaan harian. Sama sekali, semua itu hanya menumbuhkan mental. Dan, kita hanya berusaha untuk me-mekar-kan saat kita sudah menamatkan. Manusia, siapapun itu. Hanya lebih suka menikmati dan memetik keindahan bunga dan tanpa mau tahu bagaimana proses fotosintesa, atau proses penyerbukan, hingga akhirnya berbunga indah. Kadang, manusia manapun juga tidak akan mau dengar dan tahu segala sesuatu beyond the eyes.

Untuk bisa meyakinkan kepada masyarakat sekitar, tidak bisa proses yang dilakukan sangat instan. Atau hanya sekedar menyodorkan, memamerkan, menyadurkan, atau memperbanyak lembaran ijazah kita. Tetangga – tentangga terkadang tidak banyak perduli, entah kita ini tamatan sekolah mana, pesantren mana, atau universitas mana. Mau itu tamatan SD, SMP, atau jenjang karir apapun tidak akan pernah dibutuhkan kalau tidak ada real action kita di masyarakat. Dedikasi tertinggi, bukan hanya sekedar menyumbar milyaran untuk masjid kampung. Bukan hanya sekedar merayakan perayaan atau hajatan besar – besaran. Tapi juga harus faham dengan bukti kearifan kita dalam bermasyarakat, dan lagi – lagi tentang bersosial.

Ijazah kita yang sudah bertahun – tahun didapatkan, baiknya memang tidak hanya dijadikan untuk bukti bergengsi bahwa pernah sekolah tinggi. Tetangga kita tidak akan pernah mau tahu, mengerti dan apalagi membaca. Ijazah kita ini, ya kalau mau dibaca. Paling tidak, hanya dibaca oleh HRD perusahaan, atau Staf dari instansi kantoran saja. Kalau masih tidak mau untuk keluar rumah, menghirup udara segar kampung, minimal yaa ikut pengajian mingguan, atau rewang saat hajatan tetangga itu justru menambah banyak kenalan dan pengalaman.

Jadi, jangan pernah takut untuk ditanya apa – apa seperti ujian. Tidak akan pernah tanya, lulusan apa dan nilainya berapa. Kita hanya ditanya, bagaimana kamu bisa menengahi dan menyikapi persoalan masyarakat, tanpa teori tapi tentu dengan banyak ilmu dan pengalaman yang kita punya.    

 

/2 Kaldera

Tetes hujan, runtuh dengan begitu derasnya
Menumbuk bumi dengan ribuan rahmat-Nya
Ditampung sebuah wadah alam
Tercipta dari cekungan yang memangkok
Diantara megahnya gunung-gunung yang ditegakkan

Kubangan yang lantas memasam
Kaya akan mineral asam alam
Tuhan tahu, bilamana makhluk-Nya butuhkan
Menjadi obat, menjadi penawar, sumber kekayaan

Ribuan tahun, Ijen Purba memecah
Atas kuasa, serta kearifan
Muntahkan tanah dan bebatuan
Lahar dan lava, memadat memagar

Temuilah di setiap genggaman pasir dan tanah
Parang Ireng, Watudodol, Teluk Ijo, Pulau Merah
Saksikanlah bukti kebesaran-Nya
Di setiap pemandangan
Lava Blawan, Plalangan, Sembulungan
Hiruplah aroma yang kelak dirindukan
Di tengah Kawah Ijen, Kawah Wurung dan Kalipait

Bahwa setiap detik, dimana bumi dipijak
Tak akan segan, wujudkan segala keindahan
Kekayaan, kesederhanaan, bahkan kerumitam
Di setiap mili, milyaran ciptaan

Ranah Upaya, 9 Juli 2024

/1 Memeluk Alam

Gunung-gunung yang berjalan
Seperti awan yang dihembuskan
Dibawah langit tanpa tonggak
Tak runtuh, seperti tanpa atap

Bagaimana bila?
Tuhan bukanlah Maha Sabar
Melihat keangkuhan
Atau senonoh merusak alam
Pantaskah manusia ingkar akan fitrahnya?

Perut bumi yang kian menghujam
Meluapkan isi dan bebatuan alam
Bukanlah Tuhan tak lagi sayang
Lahar panas, kemudian menjadi ujian
Selebihnya justru ia menyuburkan

Alam sungguh tak bosan
Meminta akhiri segala kelakuan
Bila bukanlah iradah Tuhan
Bagaimana jadikan hasil alam
Tanah tandus, tumbuhkan pohon rindang
Batu alam, layak jadi sumber mineral
Air laut yang tak akan habis ditelan
Menjadi tinta pengetahuan?

Peluklah alam
Mencintainya, sepenuh hati dan sayang
Sebagai sesama ciptaan
Di bawah naungan awan
Senantiasa panjatkan pujian
Kuasa Tuhan, tak serta merta hancurkan
Bila amarah tak disulut oleh rayuan insan

Tidakkah kita memikirkan?

Ranah Upaya, 9 Juli 2024

Thalabu-l-‘Ilmi atau Thalabu-l-Fashli

Kemudahan teknologi dan uniknya fitur media sosial, membuat khalayak masyarakat hari ini semakin tergugah untuk membagikan identitas dirinya. Saling berbagi momen dan mengabadikan momen-momen yang belum sempat terulang di masa silam. Beberapa pekan terakhir ini sedang ramai tentang fitur berbagi balasan tentang pencapaian kelas selama duduk di bangku KMI. Ada yang membuat aneh dan menjadikan kritik sosial, tentang pencapaian kelas selama duduk di bangku kelas. Ternyata, pengaktifan sistem kasta yang tidak pernah kita sadari.

Setiap kuliah umum tentang Kepondokmodernan selama Pekan Perkenalan Khutbatul ‘Arsy (PKA). Kyai kami selalu menyampaikan dan meneguhkan sabda Rasulullah tentang pentingnya menuntut ilmu. “Thalabul ‘ilmi fariidhatun ‘alaa kulli muslimin” atau menuntut ilmu adalah suatu hal yang fardhu bagi setiap muslim. Bahwasanya menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun, dan bagi siapapun. Menjadi sebuah kewajiban yang harus, karena tanpa adanya ilmu, maka iman tidak bisa kokoh. Apabila kokohnya ilmu, tanpa didasari iman niscaya merajalela sebuah kemunkaran. Maka, pendidikan dan juga pembelajaran adalah suatu hal yang sangat otentik, tidak bisa tertukar nilainya, walau habis ditelan zaman.

KMI adalah wujud dari sebuah keresahan Trimurti dan Kyai kami terhadap pergolakan zaman. Pesantren hadir, bukan hanya semata lembaga dengan sistem asrama dan Masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya. Tetapi, pesantren berperan penting dalam kemajuan zaman dan menjawab pertanyaan-pertanyaan waktu di masa lampau tentang kemundurannya. Pendidikan dan pengajaran, adalah suatu paket yang tidak dapat dikotomi. Sering kali, esensi itu kita rasakan dalam pepatah, khairu ta’allumi, at-ta’liimu; sebaik-baiknya belajar adalah dengan mengajar. Bilamana kita berhenti belajar, maka siapa lagi yang akan mengajar. Ataupun bila kita tidak mau mengajar, kepada siapa lagi mereka akan mau belaajr? Itu sebab, sangat ajaib bila kita pandai tanpa belajar dari guru. Bilamana iya, hanyalah sedikit yang akan kita dapatkan. “… sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”

Kemudian, setelah kembali pada refleksi tentang catatan Kepondokmodernan yang kami dapatkan beberapa tahun silam. Kembali segar dan terbasuh kembali, ruh yang mulai kelabu dan mulai menghitam. Apakah hanya orang yang duduk di kelas atas, pantas untuk mendapatkan ilmu dan kembali mengajar? Apakah mereka yang duduk di kelas unggul saja, yang pantas mendapatkan keberkahan selama bertahun-tahun di Darussalam?

Lalu, sepantas apa predikat absen dan abjad kelas yang sempat diraih ketika duduk di bangku kelas?

Memang, angka absen dan juga abjad kelas menjadi hal istimewa. Selama berkiprah menjadi santri, duduk di bangku kelas B adalah sebuah pencapaian. Merasakan banyak privilese yang mungkin tidak didapatkan teman-teman yang lainnya. Kemungkinan untuk bisa menjabat kepanitiaan, mendapat kepercayaan untuk bisa mengikuti banyak aktivitas, meraup sanjungan dan pujian. Iya, siapa yang tak mau? Siapa yang tak suka? Semua orang hanya menyebut nama-nama santri di kelas atas, di saat santri yang kurang memiliki keberuntungan itu hanya duduk berpangku tangan dan sibuk belajar, menghafal, membaca kitab-kitab. Kami yang kurang beruntung itu, hanya disibukkan dengan tidur di dalam kamar, sedangkan mereka bisa mendapat dispensasi karena amanat kepanitiaan. Alih-alih, lebih apes lagi. Bahwa sering kali mendapat tuduhan pelanggaran, karena tidak dapat melaksanakan kewajiban. Banyak hal yang menjadi ketimpangan, sehingga pantas saja bilamana bisa duduk di bangku kelas atas, adalah hal yang amat-amat didambakan.

Lambat laun, masa belajar di KMI telah usai. Pengabdian menjadi guru di kampus atau alumni telah purna. Seketika, mengingat perjuangan ketika menimba ilmu di Darussalam, diingatkan dengan tren balasan Instagram. Beberapa teman dan alumni pasti mengerti dan sadar, tentang lika-liku perjalanan di KMI. Banyak dari rekan ikut berbagi, ketika menilik cerita Instagram. Banyak dari mereka yang menulis secara eksplisit, pernah duduk di bangku kelas atas. Sedangkan, teman-teman yang pernah tinggal kelas, atau hanya duduk di bangku kelas abjad akhir-an, malas menambahkan cerita. Ternyata, setelah mencoba dengan hasil penelusuran, kelas di Gontor adalah kasta. Siapa yang pernah duduk di bangku kelas atas, tanda bahwa ia pernah menjadi cerdas. Semakin tinggi angka absen, semakin cerdas pula diakui guru-guru dengan kemampuannya. Iya, ternyata esensi menuntut ilmu yang sesungguhnya itu memudar.

Ketika sudah berada di dunia dan ladang perjuangan sesungguhnya. Seharusnya kita bisa sadar. Bahwa selama ini, perjuangan menuntut ilmu itu bukan hanya dihargai dengan sebatas lembar ijazah dan nilai di kasyfu darajah. Ternyata, selama ini kita tidak pernah ditanya tentang pengalaman kita duduk di bangku kelas apa dan absen nomor berapa? Juga tidak pernah ditanya, menjabat sebagai ketua panitia apa saja. Kalaupun iya, pertanyaan itu hanya terlintas saat perkumpulan alumni dengan segelintir orang saja. Kepernahan-kepernahan yang ditanyakan, adalah seberapa banyak kamu menghabiskan waktu dalam berjuang?

Pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada tujuan global.

Apakah sama orang yang berfikir dengan yang tidak berfikir?
Apakah sama, orang yang mengerti perjuangan dengan yang tidak?
Apakah sama, orang yang ikhlas dengan yang tidak?

Masyarakat hari ini, tidak pernah bertanya:
Apakah sama, santri yang duduk di kelas B dengan santri yang duduk di kelas M, N, O?

Terdiam sejenak, lalu memperbarui refleksi selama menimba ilmu di Darussalam. Ya, benar kata Kiai kami setiap kali kuliah umum Kepondokmodernan: Banyak orang yang bertitel, tapi tidak berkarakter. Banyak sekali orang-orang yang mendapat pangkat, tetapi kehilangan jati diri. Orang-orang yang dahulu duduk di kelas atas, tapi sungguh ternodai di masyarakat karena kehilangan nilai-nilai yang menjiwainya. Pun, sebaliknya. Banyak dari mereka yang kurang beruntung saat menjadi santri, duduk di kelas bawah atau nasib menjadi mu’iddah atau pernah tinggal kelas. Tetapi menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat.

Patokan kelas, bukan menjadi standar ketika kita sudah berjuang di masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, juga dikatakan. Bukan berarti kita tak berhak menjadi orang yang bertitel, asalkan kita bisa menjadi orang berkarakter. Bukan, tetaplah berjuang dengan apa yang kita punya, jadilah orang berilmu, jadilah orang yang bertitel, jadilah orang yang berkarakter.

Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu.

 

Sigaret Kretek Tangan : Warisan Tradisi Yang Mulai Tak Lagi Diakui

Belum lama ini, tayang serial film di Netflix. Film yang diadopsi dari novel karya Ratih Kumala, dibintangi oleh aktris ternama Indonesia. Siapa yang tak kenal Dian Sastrowardoyo yang memerankan sebagai Dasiyah atau akrab disapa Jeng Yah. Novel ini menceritakan tentang kilas balik perjalanan seorang Jeng Yah, seorang perempuan yang bekerja di industri kretek dan memiliki pemikiran progresif tentang bisnis rokok cengkeh. Namun, sayangnya keinginan dan pemikiran Dasiyah yang cerdas pupus, padahal Dasiyah adalah seorang perempuan yang lihai dalam menentukan tembakau terbaik. Selain itu ia juga berambisi untuk menciptakan saus kretek terbaik. Lintingan rokok kretek Dasiyah menjadi favorit bagi banyak kalangan, termasuk Ayah Dasiyah. Tapi sayang, budaya mereka saat itu yang mengubur harapan emas Dasiyah untuk kretek Indonesia sampai hari ini.

Film tersebut sangat menggambarkan tentang kondisi industri sigaret kretek tangan di negara kita saat ini. Tembakau menjadi komoditi yang cukup unggul di Indonesia. Kesuburan tanah di Indonesia adalah sebuah keajaiban dan berkah tersendiri. Bagaimana tidak, meskipun banyak jenis tanaman yang tumbuh, yang sebenarnya bukan tanaman endemik, tapi setelah ditanam di lingkungan alam tropis Indonesia, ternyata kualitas hasilnya tak kalah dibandingkan dengan saat tanaman itu dibudidayakan di negara aslinya. Contohnya, tentu melimpah. Antara lain sebutlah tembakau, kopi, singkong, jagung dan masih banyak lainnya. Sekalipun hampir bisa dipastikan secara historis berasal dari luar Indonesia, namun karena tembakau telah menjadi tanaman budidaya dan mata pencaharian masyarakat sejak ratusan tahun lalu, akhirnya tak sedikit ditemui folklor yang menarasikan tanaman ini berasal dari Indonesia.

Tembakau memiliki sejarah yang begitu panjang, bahkan menjadi salah satu titik utama dalam sejarah dunia. Tembakau juga menjadi salah satu senjata utama dalam penyelundupan ke negara-negara musuh secara ilegal. Tanaman ini kerap dijadikan sebagai obat, sehingga penggunaannya cukup populer. Mulai dari khasiat yang menyembuhkan atau bahkan mematikan. Bukan hanya rokok, ada banyak tradisi nusantara yang masih menggunakan konsumsi tembakau sebagai bahan utamanya. Sebutlah tradisi nyirih, nyereh nginang atau nyusur. Tradisi mengunyah tembakau mejadi praktik umum masyarakat yang sinonim dengan mengunyah sirih. Adapun ngudud adalah tradisi lama nusantara yang dilakukan dengan membakar tembakau. Istilah rokok sendiri baru digunakan belakangan, yaitu abad ke-19. Berasal dari bahasa Belanda yaitu ro’ken yang pada mulanya menghisap pipa dan cerutu.

Tradisi inilah kemudian menjadi gaya baru dan tren masyarakat Indonesia sampai hari ini yang sekaligus mewariskan budaya, juga menyumbang kontribusi peningkatan perekonomian. Karena, tradisi ngudud atau membakar tembakau menjadi tradisi yang turun menurun dari generasi ke generasi. Keotentikan kretek lokal menjadi keunikan tradisi bagi masyarakat Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik industri sekaligus pengrajin rokok kretek tangan untuk tetap eksis dan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Hadirnya sigaret kretek mesin juga menjadi petaka dan juga kendala perekonomian bagi seluruh aliansi masyarakat yang bernaung di bawah industri sigaret kretek tangan. Pasalnya, dengan hadirnya SKM (Sigaret Kretek Mesin), banyak buruh yang terancam mangkrak dari pabrik karena tergantikan dengan mesin. Harap diingat, bahwa industri sigaret kretek tangan memiliki peran signifikan sebagai pilar ekonomi masyarakat. Tekanan kenaikan cukai akhirnya membuat pabrikan dihadapkan pada pilihan untuk melakukan efisiensi biaya dengan merumahkan pekerjaannya, atau bahkan ternacam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 – 2024 menuai banyak sorotan sebagai kebijakan multitahunan yang anyar bagi industri. Salah satu pihak yang terdampak, adalah industri segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja sebagai pelinting. Keberadaan industri kretek di tengah-tengah pemukiman, banyak disyukuri masyarakat, karena mampu menyerap tenaga kerja sehingga mampu membantu perekonomian keluarga. Selain keberadaannya menguntungkan masyarakat, industri kretek memberikan keuntungan bagi negara sebagai penyumbang terbesar dalam pemasukan negara dari pajak cukai yang diterapkan pemerintah. Keberadaan industri ini banyak melibatkan masyarakat dalam perkembangannya bukan hanya dari pemerintah, pabrik yang terkait, jasa, para petani dan juga mereka yang bekerja sebagai buruh di perusahaan kretek.

Kretek sendiri adalah suatu barang yang semula hanya untuk pengobatan berubah menjadi sumber manfaat dan kenikmatan. Bermula pada tahun 1900-an dengan penemuan inovasi kretek yang laku di pasaran memengaruhi kemunculan para usahawan kretek mulai dari pengusaha rumahan hingga pabrik. Perkembangan kretek yang semakin penting tidak dapat dipisahkan dari permintaan pasar. Kretek juga menjadi komoditi beberapa kota, salah satunya adalah Kudus yang menjadi kabupaten yang perkembangan ekonominya paling dinamis setidaknya dibanding dengan daerah-daerah sekitarnya. Tidak sebatas Kudus, tetapi juga di beberapa daerah seperti Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Tulungangung, Malang dan seterusnya. Ratusan ribu orang telah mendapatakan mata pencaharian mereka sebagai buruh dari industri kretek. Baik sebagai buruh di pabrik, tenaga administrasi di kantor, sopir, satpam dan lain sebagainya. Sementara itu ada ratusan ribu yang lain mendapatkan nafkah dari berbagai macam perusahaan yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan industri kretek. Mulai dari petani buruh tembakau dan petani cengkeh, para pemetik daun tembakau dan pemetik cengkeh, pekerja perusahaan percetakan angkutan, dan lain-lain. Perkembangan industri kretek yang semakin pesat membuat berbagai varian kretek yang beredar dipasaran. Perbedaan dalam varian tersebut adalah proses pembuatannya. Kretek tangan diproduksi secara tradisional oleh para perajin lokal. Proses pembuatannya melibatkan banyak pekerjaan tangan, mulai dari memilih bahan baku hingga membalut rokok. Kretek tangan bukan hanya sebuah produk, tetapi juga warisan budaya yang menjalin komunitas dan tradisi di seluruh Indonesia. Pekerjaan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan keberlanjutan dalam profesi pengrajin kretek.

Sebuah asa yang dititipkan pada perusahaan sigaret kretek tangan cukuplah besar dan menjanjikan. Bukan hanya tentang melestarikan budaya nusantara dan mengenalkan sumber daya alam dan masyarakat kepada dunia saja. Komoditas tembakau adalah salah satu pundi-pundi menguntungkan yang nantinya akan kembali pada industri lokal sendiri. Banyaknya kehadiran rokok konvensional, atau perusahaan sigaret kretek mesin membuat masyarakat semakin lengah menyadari, bahwa Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk membuka lapangan pekerjaan bagi seluruh barisan kawula. Sekali lagi, bukan hanya yang bekerja pada industri sigaret kretek tangan saja. Tetapi juga sangat berpengaruh pada roda kehidupan petani tembakau, cengkeh, industri kertas linting, penyuplai, distributor tembakau, dan masih banyak lainnya. Ketelatenan dan keuletan para perempuan Indonesia juga sangat mendukung peningkatan perekonomian negeri, juga berperan pada pemberdayaan perempuan Indonesia.

Mendongkrak perekonomian, bukan dengan meninggalkan kelestarian budaya dan juga warisan leluhur kita hari ini. Sudah saatnya kita mengenalkan dan meninggalkan jejak emas kepada anak cucu generasi dengan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah ruah. Kenikmataan dan kelanggengan warisan inilah yang memperkaya tradisi Indonesia untuk dikenal dunia. Sangat naif, bila sumber daya alam negara kita yang beraneka rupa bila hanya dimanfaatkan investor negara orang, atau diperbiniskan bukan untuk anak negeri. Serial Gadis Kretek hanyalah representasi dan sebuah pengenalan tentang budaya dan juga kearifan lokal pada dunia tentang kretek dan rempah pilihan Indonesia. Bila harus berhenti dan tak lagi lestari. Indonesia haruslah siap kehilangan dan menunggu negara lain untuk mengakui. Satu persatu sirna, anak bangsa akan selamanya susah untuk merebut kembali dan mau mengenali.

Krisisnya Nalar Kritis

Pergolakan dalam hal kurikulum pendidikan di negeri kita, menjadi hal lazim bagi seluruh lintas generasi. Bukan hanya bagi pendidik dan peserta didik, tetapi keresahan dan permasalahan ini juga sangat mendominasi para orang tua, yang sangat berharap akan keberhasilan anaknya di masa depan. Terhitung, hampir 11 kali mengalami pergantian kurikulum pendidikan sejak tahun 1947 hingga kini. Adapun kurikulum yang sedang diterapkan saat ini adalah Kurikulum Merdeka Belajar yang diusung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem.

Banyak kritik dan saran, kesan dan pesan terkait kebijakan mendikbud ini. Belum lagi, permasalahan yang menjamur di setiap lini lapisan masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini tidak merata, saling tumpang tindih, ketimpangan. Belum selesai memahami, memaknai, mengimplementasi, dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan yang diusung sebelumnya, lalu dipaksa untuk menerima dengan legowo kebijakan selanjutnya. Baiklah, mungkin terbilang mudah bagi sekolah yang notabene sesuai dengan kualifikasi yang diperkirakan Mas Menteri; fasilitas tercukupi, SDM yang memadai, lingkungan yang mendukung, para orang tua yang mampu dan suportif dan masih banyak lainnya. Lalu, bagaimana dengan kami yang harus beradaptasi dengan hal tidak serupa? Tentu jomplang, berat sebelah dan tidak seimbang.

Hadirnya teknologi, memang tidak bisa terus disalahkan. Teknologi memang hadir untuk memudahkan segala pekerjaan manusia. Mereka menciptakan, mereka yang mengatur, mereka yang memfungsikan. Hadirnya teknologi, memang sudah tidak asing seharusnya. Apalagi semenjak pandemi merebak, teknologi dan kecerdasan buatan sudah menjadi sahabat. Sayangnya, tidak semua memahami dan kemudian memfungsikan dengan bijak. Misal, hadirnya Chat GPT sebagai alat untuk mempermudah diskusi dan menuangkan ide untuk ranah kehidupan. Faktanya, kita semua sudah terlalu percaya bahwa AI (Artificial Intelligent) bisa menggantikan tugas guru di sekolah. Anak-anak sudah tidak perlu membaca dan sibuk mencari referensi sumber, sibuk mendengarkan penjelasan guru yang membosankan, tidak menarik. Belum lagi harus berhadapan dengan karakter dan pribadi guru pengajar yang menakutkan, menyeramkan, pemarah, suka mem-bully para siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar. Ini bukan hanya sekali dua kali saja. Sejujurnya, para siswa tidak pernah berfikir dan merindukan gurunya saat mengajar di sekolah. Mereka hanya ingin bertemu sahabatnya di sekolah, karena juga malas dan tidak betah di rumah.

Problematika seperti ini, memang tidak pernah disadari oleh individu pendidik sendiri. Padahal, komponen utama dalam kegiatan mendidik itu sendiri adalah kesamaan resonansi antara pendidik dan peserta didik. Tetapi, pada realitanya. Pendidik hanya berfokus pada tujuan utama dirinya sendiri; hanya mengajar dan menyampaikan ilmu di buku. Urusan pembentukan karakter, kematangan mental, nalar yang kritis untuk bisa menghadapi permasalahan yang lebih kompleks, menjadi nomor sekian. Ya, pada akhirnya mengajar yang juga sebagai kegiatan mulia seorang guru, dimonetisasi dan hanya dijadikan ladang penghidupan bukan menjadi ladang amal.

Nalar kritis yang selalu digaungkan sebagai harapan pelajar pancasila itu, hanya berwujud sebagai jawaban hitam putih saat ujian. Walau tugas-tugas dalam lembar kerja siswa tertanda sebagai soal HOTS. Apakah kualitas nalar berfikir kritis juga serupa? Rasanya tidak. Mengapa? Karena penyampaian materi di kelas, jarang bahkan tidak pernah sama sekali mengajak para siswa berfikir kritis, menggunakan kemampuan berfikir yang luar biasa, memfungsikan logika yang sudah Allah karuniai pada setiap hamba. Ketakutan para siswa dengan jawaban yang salah, sangat mempengaruhi kemampuan berfikir mereka yang bebas. Mereka memikirkan jawaban yang umum, jawaban yang tertulis di bukunya, dan juga jawaban tepat pada pilihan ganda.

Belum lama ini, Maudy Ayunda sempat ditanya oleh konten kreator, tentang kebijakannya bila dinobatkan sebagai menteri pendidikan. Maudy menjawab, bahwa ia akan menghapuskan asesmen pilihan ganda, dan menggantinya dengan soal esai berbasis critical thinking, ia juga menyampaikan bahwa ingin mengajak anak bangsa untuk punya hobi belajar dan mencintai ilmu seperti dirinya. Lalu, apa kabar hari ini? Bila memang hal itu terjadi setelah kebijakan Mas Menteri yang telah lama menghapuskan UN, meniadakan skripsi bagi mahasiswa dengan mengganti tugas yang sepadan, kemudian disusul dengan kebijakan-kebijakan yang hampir serupa di masa yang akan datang. Bagaimana dengan kondisi lapangan hari ini yang masih sangat lemah dalam hal bernalar kritis? Semoga pendidikan anak bangsa, kebijakan pemerintah dan urusan mengenai masa depan sebuah peradaban semakin membaik dan juga bermanfaat untuk agama, nusa dan bangsa.

Kontroversi Perihal “Good Looking” di Ranah Masyarakat

Padahal, menjadi good looking bukan hanya tentang paras wajah dan keindahan bentuk fisik dan cerahnya warna kulit. Jangan menyerah dulu ya, Kawan!

Kita tidak asing dengan kriteria yang menyebutkan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon karyawan atau pegawai. “Minimal good looking atau berpenampilan menarik.” Alih-alih, pada akhirnya orang yang tidak mencukupi kriteria itu menjadi putus asa dan mengeluh, sering kali kita temui di media sosial, tentang keluhan bahwa menyesali karena dirinya tidak mempunyai kelebihan itu. Padahal, sebenarnya perlu atau tidak kriteria ini harus dimiliki

Bukan hanya dalam ranah pekerjaan, hal ini sering kali kita temui di setiap lini kehidupan kita. Baik mereka yang memiliki penampilan yang menarik, baik itu paras wajah, kondisi fisik, gestur tubuh sangat mempengaruhi. Mereka yang memilikinya, acap kali dipandang lebih baik nasibnya, bisa dipertaruhkan, dan kehidupannya lebih menjamin, lebih didahulukan dan diutamakan. “Sekarang apa-apa mandang fisik, ya? Apalah daya wajahku pas-pasan begini?” Sering mendengar, atau bahkan kita adalah pelakunya.

Padahal, menjadi good looking bukan hanya tentang paras wajah dan keindahan bentuk fisik dan cerahnya warna kulit. Jangan menyerah dulu ya, Kawan!

Begini. Secara psikologi, menurut narasi yang dikutip dari jurnal Evolutionary Psychology, dikatakan bahwa ”Basically seeing something beautiful can make us happy and fresh again. This is because activities that seem to have no benefit, can improve memory and motivate yourself.” Atau pada dasarnya melihat sesuatu yang indah bisa membuat kita bahagia dan segar kembali. Ini karena aktivitas yang sepertinya tidak ada manfaatnya, dapat meningkatkan daya ingat dan memotivasi diri sendiri.” Saat seseorang melihat pemandangan atau sesuatu yang indah untuk dipandang, maka akan menambah efek bahwa seseorang bisa menyegarkan fikirannya kembali, menjernihkan fikirannya yang keruh, -walau di waktu yang singkat. Itulah sebab, mengapa mempunyai kriteria good looking sangat dibutuhkan dalam dunia pekerjaan, karena bisa meminimalisir sesaknya fikiran dan suasana dunia pekerjaan saat itu. Lalu, bagaimana nasib kita yang ditakdirkan tidak memiliki paras indah? Kita hanya menonton saja?

Tidak. Kita tidak patut untuk berkecil hati. Juga tidak pula putus asa atas takdir yang menjadi anugerah luar biasa. Walau good looking menjadi sebuah tuntutan, tidak berarti kita menjadi insecure dan putus asa. Good looking bukan hanya ditinjau dari indahnya wajah, kebagusan fisik, baju yang mahal, dan dandanan yang melirik mata. Salah satu bentuk manifestasi dari good looking sesungguhnya adalah good value dari seseorang tersebut. Adanya pilihan good looking sebenarnya adala suatu opsi yang ditawarkan untuk menilai seberapa sehatnya fisik seseorang. Karena dipastikan bahwa, orang yang berpenampilan baik, ia memiliki kondisi fisik yang baik, kemampuan berfikir dan nalar yang baik, akhlak dan adab yang baik. Walau, dari semua itu tidak bisa kita dapatkan saat pertama kali bertemu. Tetapi, seseorang berhak untuk punya penilaian di awal perjumpaan. Indah tutur kata, fikiran yang rasional, akhlak yang mulia memang tidak ditentukan dari penampilan. Ada banyak orang yang tampil dengan jas parlente tetapi akhlaknya di bawah rata-rata. Maka, perlu mengubah standar. Good looking bukanlah menjadi titik penting dalam penilaian seseorang. Good value lebih bisa diterima di masyarakat, di semua kalangan.

Berpenampilan menarik tidak hanya bisa dinilai dari paras wajah. Sesungguhnya keindahan terletak dari keserasian. Kesesuaian kita dalam berpakaian, dengan tempat dimana kita ada, dengan siapa yang kita temui, dengan topik apa yang akan dibahas. Seharusnya, kita bisa lebih dewasa dan mengerti tentang hal itu, dan mulai membiasakannya. Saat kita bisa  mulai membedakan dan menyesuaikan, siapapun dan dimanapun kita berada akan lebih bisa menerima dan menghargai keberadaan kita. Karena, ada banyak orang yang berpenampilan menarik, tampan dan cantik, tetapi acap kali tidak dihargai karena tidak mempunyai karakter yang baik, keserasiannya dengan pakaian yang ia kenakan. Kalau seseorang kehilangan uang, sebenarnya ia tidak kehilangan apapun. Karena uang bisa didapatkan dengan mudah, hari ini. Kalau seseorang kehilangan kesehatan, ia bisa saja kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup. Tapi, jika seseorang kehilangan karakter dalam dirinya. Ia kehilangan segalanya.  

Buka Bersama, Bukan Untuk Acara Pamer Pencapaian    

Bulan Ramadhan, sudah berada di pertengahan rembulan yang semakin terang benderang. Hal-hal yang dirindukan di sebelas bulan terakhir, terbayarkan. Bulan, dimana banyak tradisi tidak ditemui di 11 bulan lainnya. Merindukan santapan khas ramadan, takjil saat berbuka, ngabuburit bersama kerabat dan rekan, lantunan shalawat tarhim dan imsak, gemuruh musik patrol yang membangunkan sahur setiap malam, tidak kita jumpai, jika kita tidak ditakdirkan menemui keindahan berkah bulan ramadhan. Maka, patut kita syukuri tiada tara atas pertemuan dan perkumpulan kita di bulan yang penuh dengan magfirah dan ampunan.

Salah satu tradisi yang masih membudaya di setiap kalangan, salah satunya adalah tradisi buka bersama. Jangan salah, di setiap pojok kota, pinggir maupun tengah kerumunan jalan. Adzan Maghrib menjadi lantunan paling favorit, bagi setiap muslim yang menjalankan puasa. Ajakan BukBer (baca: buka bersama)  tidak pernah berhenti satu hari saja. Setiap hari, warung-warung baik resto bintang atau kaki lima full booked untuk acara buka bersama. Menyenangkan memang, acara buka bersama selalu menjadikan kenangan yang lama kembali tercipta. Tapi, ada salah satu budaya yang menjadikan tradisi buka bersama terasa muak dan menghilangkan nilai-nilai kebersamaan. Apa itu? Flexing!

Sedang terngiang-ngiang di telinga kita, istilah baru ini. Sebenarnya ini bukan hal baru, tapi orang-orang semakin memunculkan tren ini dengan mengikuti gaya hidup kebarat-baratan. Flexing, berasal dari bahasa Inggris, menurut urbandictiorary.com, bermakna “to show off, the act of bragging about money-related things, such as how much money do you have, or about expensive possesions.” Atau bisa juga diartikan dengan pamer, tindakan menyombongkan diri tentang hal yang berhubungan dengan uang, atau tentang harta dan benda mahal.

Akhir-akhir ini, marak juga tentang para pejabat yang terangkut karena urusan pamer dengan harta kekayaan, karena postingan sang anak, malah justru menggiring orang tua pada hal yang tidak diinginkan, membuka rahasia-rahasia yang seharusnya diketahui oleh publik, tapi disembunyikan dengan ayem-ayem saja. Jangankan pejabat, yang (barangkali) memang punya duit dan harta. Akhir-akhir ini, ramai pula jadi perbincangan. Status atau postingan anak-anak kita yang menanyakan “info sewa iphone atau vespa matic buat bukber kelas.” Saat itu, kami tak sengaja membaca tulisan yang lewat di cerita instagram. Spontan, kaget. Karena, hal seperti ini seyogyanya memang tidak wajar. Tanpa babibu, langsung kami tegur. Karena kami sadar, posisi kami adalah pendidik, peduli dengan keprihatinan anak-anak. Kemudian, si anak menjawab. Bahwa, untuk sekadar foto-foto, “biar bagus, keren”. Jawaban ini tidak terduga. Sejak kejadian itu, kami tidak dapat lagi melihat cerita instagramnya, entah disenyapkan, atau dengan tindakan apa. Mungkin, si anak jengkel karena teguran gurunya.

Sampai saat ini, kami merasa gumun. Bertanya-tanya. Memang alasannya apa? Kalau memakai handphone biasa? Apa salahnya. Kalau berangkat dengan kendaraan seadanya. Toh, acara bukber kan, untuk membatalkan puasa, paling tidak makan, atau minum. Lalu untuk apa? Harus memakai standar iphone? Apa keistimewaannya? Oh, setelah itu kami baru sadar. Bila gaya hidup para hedonis ini sudah meracuni anak-anak, bahkan kita sendiri tentunya. Standar yang ditetapkan saat mengunggah foto atau cerita instagram, keren dengan menggunakan aplikasi bawaan iphone. Jalan kemana-mana, menggunakan vespa matic lebih gaul, dibanding dengan kendaraanlainnya. Entah, siapa yang membuat batasan ini. Tentu salah kaprah, bila memiliki fasilitas itu semua jika tidak mempunyai tujuan yang tepat. Memiliki benda itu, tidak salah. Karena memang ada spesifikasi yang tidak dimiliki handphone lain. Menjadi salah nilainya, jika hanya untuk dibuat ikut tren atau gegayaan.

Bukber, menjadi hal yang mulai dihindari ajakannya. Karena, banyak pertanyaan, ujaran yang menyebutkan tentang pencapaian karir, nasib, jumlah minimum maksimum harta, menjadi topik perbincangan. Padahal, tujuan kita untuk berkumpul. Untuk bertemu, untuk berdiskusi, untuk mengobrol. Tapi, bisa kan? Jika bukan tentang pamer sana-sini. Untung, bila lawan bicara juga saling menghormati, bila berada di posisi yang sama. Bayangkan, bila kita menyebutkan di depan orang yang nasibnya tak selalu sama? Bukankah bagian dari kesombongan luar biasa?

Flexing akan sulit dihilangkan, bila gaya hidup hedonis menjadi sorotan, bila tontonan selebgram menjadi tuntunan, merasa ingin dihormati secara materi selalu menjadi tuntutan. Apalagi, bagi mereka yang punya gaya hidup elit, tapi ekonomi sulit. Pinjaman online berkeliaran, paylater menumpuk sampai tercekik jeratan, rentenir tertawa melihat gaya hidup dan pinjaman yang tidak bisa terbayar. Sebenarnya, apa yang membuat seseorang berniat untuk memamerkan harta kekayaan pada orang lain? Terlalu menyedihkan-kah hidupnya? Hingga kehidupannya harus diketahui banyak orang? Hingga kita harus menilai dengan pencapaian yang dimiliki? Hingga kita harus punya sesuatu yang bernilai di mata orang lain, hanya untuk mengemis penghormatan?

Mengapa Harus Kartini?

“Do re mi fa sol mi do, la do si la sol.

Fa la sol fa mi do, re fa mi re do.”

Jika not di atas dinyanyikan dengan melodi yang indah, tentu nada ini tidak asing di telinga. Siapa yang tak asing dengan petikan dari lagu ini? Hampir dari setiap warga Negara Indonesia hafal dengan salah satu lagu kebangsaan dan kebanggan rakyat Negara Indonesia. Syairnya begitu bermakna, indah untuk dilantunkan, pun dinyanyikan, apalagi jika memang harus berpadu dan bersahutan, bangga rasanya memiliki seorang pejuang yang jasanya mungkin akan selalu kita kenang.

Tanggal 21 April selalu identik dengan Hari Kartini, hari yang selalu diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Republik Indonesia untuk mengenang salah satu tokoh nasional, pahlawan perempuan, yaitu Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904), atau biasa kita sebut dengan RA. Kartini. Tak pernah lupa juga, tanggal 21 April selalu identik dengan perempuan berbusana kebaya atau baju adat di setiap daerah di Negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote, ikut dan turut serta memperingati hari Kartini. Padahal, siapa sangka? Hari Kartini tidak pernah ada dalam daftar hari libur nasional. Tetapi khalayak Indonesia tak pernah lupa mengingatnya.

Pesan-pesan yang dituliskan olehnya dan dikirimkan kepada salah satu sahabatnya dari kaum penjajah, yaitu Rosa Abendanon dan Estelle Zeehandelaar, berkali-kali tertulis dalam sejarah bahwa karena jasana itulah, terciptalah suatu pandangan emansipasi wanita, yang diyakini hinggi saat ini selalu menjadi power bagi seluruh kaum wanita pada umumnya. Rasanya, hanya jasa Kartini saja yang dikenang dalam sejarah Negara Indonesia untuk suatu pembelaan dan perjuangan kaum wanita. Semua pesan-pesan itu dapat dibaca, dalam kumpulan surat yang diabadikan dengan judul “Door Duiternis Tot Licht,” kami lebih mengenalnya dengan judul “Habislah Gelap Terbitlah Terang.”

Pernahkah kita berfikir, mengapa hanya jasa Kartini yang selalu dikenang? Apakah tidak ada kaum perempuan yang saat itu ikut berjuang, mempunyai kualitas yang sama bahkan lebih hebat darinya? Apakah tidak kita temukan, sosok dan tokoh perempuan lainnya yang selalu mengispirasi perempuan-peremouan saat ini, untuk bisa lebih bangkit dari keterpurukan yang ada. Bagkit dari segala stigma, gosip, isu ataupun segala sesuatu yang menyudutkan perempuan, hingga perempuan tak dapat lagi punya kesempatan emas untuk menyongsong masa depan yang cerah? Apakah tidak ada perempuan lain selain Kartini yang patut kita teladani?

Jawabannya, ada. Jumlahnya-pun, banyak!

Barangkali, kita pasti tahu dan pernah mendengar nama-nama perempuan yang mengispirasi, jauh sekian tahun lamanya sebelum Kartini lahir. Ada Ratu Kalinyamat (1520 – 1579), Laksamana Keumalahayati (1550 – 1615), Nyai Ageng Serang (1752-1828), Martha Christina Tiahahu (1800 – 1818), Siti Manggopoh (1880 – 1965), Cut Nya’ Dhien (1848 – 1908), Niken Lara Yuwati (1825 – 1830), Rohana Kuddus (1884 – 1972), Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900 – 1969), HR. Rasuna Said (1910 – 1965), dan masih banyak lagi perempuan-perempuan yang sangat menginspirasi. Tentunya mereka bisa dapat kita jadikan sebagai idola untuk bisa meneladani peran-peran hebat mereka.

Perjuangan yang dilakukan oleh segenap perempuan yang disebutkan demikian, tentu bukanlah perjuangan ala kadarnya. Tak kalah hebat dari perjuangan RA. Kartini saat itu untuk memperjuangkan hak kesetaraan perempuan dan emansipasi perempuan di mata penjajah dan kaum lelaki. Tidakkah kita pernah berfikir? Apakah tindakan untuk memperjuangan suatu pembebasan dari perbudakan para perempuan hanya dengan mengirimkan surat dengan kaum penjajah? Apakah hanya perjuangan seperti demikian untuk bisa menyuarakan hak? Coba kita bayangkan, jika kita hanya meneladani, dan mengikuti langkah-langkah RA. Kartini sekadar untuk mengirimkan surat-surat serta suara  hati kaum perempuan kepada sahabat kalangan atas, rasanya tidak akan pernah imbang dan cukup. Apakah kiranya akan terketuk hati, untuk bisa mengirimkan pesan terbuka terhadap hak, isu, derita kaum perempuan hanya berakhir dengan surat belaka? Tentu tidak.

Salah satu surat dalam buku itu, adalah saat Kartini menginginkan untuk perempuan Indonesia dapat mempelajari banyak bahasa, karena menurutnya dengan mempelajari banyak bahasa agar paham akan buah pikiran penulis buku yang berbahasa asing lainnya. Kartini berharap, agar perempuan dapat merasakan pendidikan yang tinggi untuk bisa memperbaiki keterpurukan yang dialami oleh para perempuan pada saat itu.  

Jika hal ini berlangsung pada era Kartini, yaitu pada tahun 1879 sampai 1904. Apakah nasib yang dialami para perempuan lebih terpuruk dan terbelakang? Tidak. Ada perjuangan kaum perempuan lain yang tak kalah hebat dan patut untuk dikenang. Ada Ratu Kalinyamat, yang tercatat oleh Ahli Sejarah Portugis Diogo do Couto yang menyatakan bahwa Ratu Kalinyamat memimpin pasukannya di Jepara untuk melawan penjajah.

Tak lupa, perjuangan Laksamana Keumalahayati yang tangguh, tak tertandingi pada masa itu bahkan hingga kini. Perempuan yang lahir di Tanah Aceh pada tahun 1560 ini memimpin 40 kapal perang, dengan kekuatan 1000 pasukan untuk menyerang Benteng La Formosa, tak hanya itu Malahayati juga memimpin pasukan Inong Balee untuk berperang dan membunuh Cornelis De Houtman (1599). Apakah cukup hanya sampai disitu saja? Wah, tentu tidak. Malahayati bukanlah perempuan biasa, bukanlah hanya terkenal dengan kualitasnya dalam memimpin dan menyelesaikan masalah dan kudeta. Malahayati adalah perempuan yang cerdas. Ia menguasai banyak bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Arab, dan menjadi guru khusus Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis. Malahayati adalah satu-satunya perempuan yang menjadi Panglima Armada Kapal Perang.

Apakah kiprah dan eksistensi perempuan di era saat ini, hanya karena perjuangan dari seorang RA. Kartini? Tentu tidak! Apakah Kartini memberikan andil yang cukup besar bagi perempuan saat ini untuk dapat bergerak dan menyuarakan aspirasinya untuk didengar? Belum tentu juga. Ada banyak sekali keteladanan yang dapat diambil, diteladani, dicontoh, dikenang selain dari seorang tokoh Kartini. Lantans mengapa kita kita tidak pernah mau mencari tahu, siapakah sosok mereka? Mengapa hanya tanggal 21 April untuk dikenang? Mengapa hanya ada sebutan Hari Kartini? Mengapa tidak ada Hari Cut Nya’ Dhien, Hari Malahayati, Hari Siti Manggopoh, dan hari-hari lainnya. Mengapa selama ini kita hanya mengenang yang sebenarnya tak berarti banyak pula untuk kita?

Barangkali, itulah yang membuat perempuan dan generasi saat ini, sangat tidak leluasa untuk berjuang lebih keras, bergerak lebih cepat kilat, berkarya lebih hebat dan lain-lainnya. Mungkin kita lupa, bahwa sebenarnya adabanyak perempuan yang patut kita teladani, ingat jasanya, kenang, dan ceritakan untuk anak-cucu kita selanjutnya. Kita sengaja tidak diingatkan dan nama-nama mereka sengaja dihapus dalam sejarah, agar bangsa ini tak bisa lebih maju dalam banyak hal. Apakah bisa berakibat demikian? Boleh iya dan boleh tidak, tergantung bagaimana generasi dan peradaban ini kita genggam bersama.

Mengapa harus Kartini?

Jawabannya adalah tidak harus. Untuk menjadi perempuan hebat, tangguh, kuat, kokoh, cerdas dan bermartabat. Tidak harus selalu mengambil keteladanan dari RA. Kartini seorang. Menjadi perempuan, harus selalu sadar dan disadarkan bahwa peradaban suatu bangsa dan masa ada di rahimnya. Masa depan suatu generasi ada dalam didikannya. Perempuan yang shalihah akan selalu menjadi pendamping seorang pemimpin sekaligus akan menjadi ibu bagi seorang pemimpin.

Maka, jangan menjadi perempuan yang biasa – biasa saja.

Jadilah perempuan yang luar biasa!