/2 Kaldera

Tetes hujan, runtuh dengan begitu derasnya
Menumbuk bumi dengan ribuan rahmat-Nya
Ditampung sebuah wadah alam
Tercipta dari cekungan yang memangkok
Diantara megahnya gunung-gunung yang ditegakkan

Kubangan yang lantas memasam
Kaya akan mineral asam alam
Tuhan tahu, bilamana makhluk-Nya butuhkan
Menjadi obat, menjadi penawar, sumber kekayaan

Ribuan tahun, Ijen Purba memecah
Atas kuasa, serta kearifan
Muntahkan tanah dan bebatuan
Lahar dan lava, memadat memagar

Temuilah di setiap genggaman pasir dan tanah
Parang Ireng, Watudodol, Teluk Ijo, Pulau Merah
Saksikanlah bukti kebesaran-Nya
Di setiap pemandangan
Lava Blawan, Plalangan, Sembulungan
Hiruplah aroma yang kelak dirindukan
Di tengah Kawah Ijen, Kawah Wurung dan Kalipait

Bahwa setiap detik, dimana bumi dipijak
Tak akan segan, wujudkan segala keindahan
Kekayaan, kesederhanaan, bahkan kerumitam
Di setiap mili, milyaran ciptaan

Ranah Upaya, 9 Juli 2024

/1 Memeluk Alam

Gunung-gunung yang berjalan
Seperti awan yang dihembuskan
Dibawah langit tanpa tonggak
Tak runtuh, seperti tanpa atap

Bagaimana bila?
Tuhan bukanlah Maha Sabar
Melihat keangkuhan
Atau senonoh merusak alam
Pantaskah manusia ingkar akan fitrahnya?

Perut bumi yang kian menghujam
Meluapkan isi dan bebatuan alam
Bukanlah Tuhan tak lagi sayang
Lahar panas, kemudian menjadi ujian
Selebihnya justru ia menyuburkan

Alam sungguh tak bosan
Meminta akhiri segala kelakuan
Bila bukanlah iradah Tuhan
Bagaimana jadikan hasil alam
Tanah tandus, tumbuhkan pohon rindang
Batu alam, layak jadi sumber mineral
Air laut yang tak akan habis ditelan
Menjadi tinta pengetahuan?

Peluklah alam
Mencintainya, sepenuh hati dan sayang
Sebagai sesama ciptaan
Di bawah naungan awan
Senantiasa panjatkan pujian
Kuasa Tuhan, tak serta merta hancurkan
Bila amarah tak disulut oleh rayuan insan

Tidakkah kita memikirkan?

Ranah Upaya, 9 Juli 2024

Thalabu-l-‘Ilmi atau Thalabu-l-Fashli

Kemudahan teknologi dan uniknya fitur media sosial, membuat khalayak masyarakat hari ini semakin tergugah untuk membagikan identitas dirinya. Saling berbagi momen dan mengabadikan momen-momen yang belum sempat terulang di masa silam. Beberapa pekan terakhir ini sedang ramai tentang fitur berbagi balasan tentang pencapaian kelas selama duduk di bangku KMI. Ada yang membuat aneh dan menjadikan kritik sosial, tentang pencapaian kelas selama duduk di bangku kelas. Ternyata, pengaktifan sistem kasta yang tidak pernah kita sadari.

Setiap kuliah umum tentang Kepondokmodernan selama Pekan Perkenalan Khutbatul ‘Arsy (PKA). Kyai kami selalu menyampaikan dan meneguhkan sabda Rasulullah tentang pentingnya menuntut ilmu. “Thalabul ‘ilmi fariidhatun ‘alaa kulli muslimin” atau menuntut ilmu adalah suatu hal yang fardhu bagi setiap muslim. Bahwasanya menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun, dan bagi siapapun. Menjadi sebuah kewajiban yang harus, karena tanpa adanya ilmu, maka iman tidak bisa kokoh. Apabila kokohnya ilmu, tanpa didasari iman niscaya merajalela sebuah kemunkaran. Maka, pendidikan dan juga pembelajaran adalah suatu hal yang sangat otentik, tidak bisa tertukar nilainya, walau habis ditelan zaman.

KMI adalah wujud dari sebuah keresahan Trimurti dan Kyai kami terhadap pergolakan zaman. Pesantren hadir, bukan hanya semata lembaga dengan sistem asrama dan Masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya. Tetapi, pesantren berperan penting dalam kemajuan zaman dan menjawab pertanyaan-pertanyaan waktu di masa lampau tentang kemundurannya. Pendidikan dan pengajaran, adalah suatu paket yang tidak dapat dikotomi. Sering kali, esensi itu kita rasakan dalam pepatah, khairu ta’allumi, at-ta’liimu; sebaik-baiknya belajar adalah dengan mengajar. Bilamana kita berhenti belajar, maka siapa lagi yang akan mengajar. Ataupun bila kita tidak mau mengajar, kepada siapa lagi mereka akan mau belaajr? Itu sebab, sangat ajaib bila kita pandai tanpa belajar dari guru. Bilamana iya, hanyalah sedikit yang akan kita dapatkan. “… sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”

Kemudian, setelah kembali pada refleksi tentang catatan Kepondokmodernan yang kami dapatkan beberapa tahun silam. Kembali segar dan terbasuh kembali, ruh yang mulai kelabu dan mulai menghitam. Apakah hanya orang yang duduk di kelas atas, pantas untuk mendapatkan ilmu dan kembali mengajar? Apakah mereka yang duduk di kelas unggul saja, yang pantas mendapatkan keberkahan selama bertahun-tahun di Darussalam?

Lalu, sepantas apa predikat absen dan abjad kelas yang sempat diraih ketika duduk di bangku kelas?

Memang, angka absen dan juga abjad kelas menjadi hal istimewa. Selama berkiprah menjadi santri, duduk di bangku kelas B adalah sebuah pencapaian. Merasakan banyak privilese yang mungkin tidak didapatkan teman-teman yang lainnya. Kemungkinan untuk bisa menjabat kepanitiaan, mendapat kepercayaan untuk bisa mengikuti banyak aktivitas, meraup sanjungan dan pujian. Iya, siapa yang tak mau? Siapa yang tak suka? Semua orang hanya menyebut nama-nama santri di kelas atas, di saat santri yang kurang memiliki keberuntungan itu hanya duduk berpangku tangan dan sibuk belajar, menghafal, membaca kitab-kitab. Kami yang kurang beruntung itu, hanya disibukkan dengan tidur di dalam kamar, sedangkan mereka bisa mendapat dispensasi karena amanat kepanitiaan. Alih-alih, lebih apes lagi. Bahwa sering kali mendapat tuduhan pelanggaran, karena tidak dapat melaksanakan kewajiban. Banyak hal yang menjadi ketimpangan, sehingga pantas saja bilamana bisa duduk di bangku kelas atas, adalah hal yang amat-amat didambakan.

Lambat laun, masa belajar di KMI telah usai. Pengabdian menjadi guru di kampus atau alumni telah purna. Seketika, mengingat perjuangan ketika menimba ilmu di Darussalam, diingatkan dengan tren balasan Instagram. Beberapa teman dan alumni pasti mengerti dan sadar, tentang lika-liku perjalanan di KMI. Banyak dari rekan ikut berbagi, ketika menilik cerita Instagram. Banyak dari mereka yang menulis secara eksplisit, pernah duduk di bangku kelas atas. Sedangkan, teman-teman yang pernah tinggal kelas, atau hanya duduk di bangku kelas abjad akhir-an, malas menambahkan cerita. Ternyata, setelah mencoba dengan hasil penelusuran, kelas di Gontor adalah kasta. Siapa yang pernah duduk di bangku kelas atas, tanda bahwa ia pernah menjadi cerdas. Semakin tinggi angka absen, semakin cerdas pula diakui guru-guru dengan kemampuannya. Iya, ternyata esensi menuntut ilmu yang sesungguhnya itu memudar.

Ketika sudah berada di dunia dan ladang perjuangan sesungguhnya. Seharusnya kita bisa sadar. Bahwa selama ini, perjuangan menuntut ilmu itu bukan hanya dihargai dengan sebatas lembar ijazah dan nilai di kasyfu darajah. Ternyata, selama ini kita tidak pernah ditanya tentang pengalaman kita duduk di bangku kelas apa dan absen nomor berapa? Juga tidak pernah ditanya, menjabat sebagai ketua panitia apa saja. Kalaupun iya, pertanyaan itu hanya terlintas saat perkumpulan alumni dengan segelintir orang saja. Kepernahan-kepernahan yang ditanyakan, adalah seberapa banyak kamu menghabiskan waktu dalam berjuang?

Pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada tujuan global.

Apakah sama orang yang berfikir dengan yang tidak berfikir?
Apakah sama, orang yang mengerti perjuangan dengan yang tidak?
Apakah sama, orang yang ikhlas dengan yang tidak?

Masyarakat hari ini, tidak pernah bertanya:
Apakah sama, santri yang duduk di kelas B dengan santri yang duduk di kelas M, N, O?

Terdiam sejenak, lalu memperbarui refleksi selama menimba ilmu di Darussalam. Ya, benar kata Kiai kami setiap kali kuliah umum Kepondokmodernan: Banyak orang yang bertitel, tapi tidak berkarakter. Banyak sekali orang-orang yang mendapat pangkat, tetapi kehilangan jati diri. Orang-orang yang dahulu duduk di kelas atas, tapi sungguh ternodai di masyarakat karena kehilangan nilai-nilai yang menjiwainya. Pun, sebaliknya. Banyak dari mereka yang kurang beruntung saat menjadi santri, duduk di kelas bawah atau nasib menjadi mu’iddah atau pernah tinggal kelas. Tetapi menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat.

Patokan kelas, bukan menjadi standar ketika kita sudah berjuang di masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, juga dikatakan. Bukan berarti kita tak berhak menjadi orang yang bertitel, asalkan kita bisa menjadi orang berkarakter. Bukan, tetaplah berjuang dengan apa yang kita punya, jadilah orang berilmu, jadilah orang yang bertitel, jadilah orang yang berkarakter.

Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu.

 

Sigaret Kretek Tangan : Warisan Tradisi Yang Mulai Tak Lagi Diakui

Belum lama ini, tayang serial film di Netflix. Film yang diadopsi dari novel karya Ratih Kumala, dibintangi oleh aktris ternama Indonesia. Siapa yang tak kenal Dian Sastrowardoyo yang memerankan sebagai Dasiyah atau akrab disapa Jeng Yah. Novel ini menceritakan tentang kilas balik perjalanan seorang Jeng Yah, seorang perempuan yang bekerja di industri kretek dan memiliki pemikiran progresif tentang bisnis rokok cengkeh. Namun, sayangnya keinginan dan pemikiran Dasiyah yang cerdas pupus, padahal Dasiyah adalah seorang perempuan yang lihai dalam menentukan tembakau terbaik. Selain itu ia juga berambisi untuk menciptakan saus kretek terbaik. Lintingan rokok kretek Dasiyah menjadi favorit bagi banyak kalangan, termasuk Ayah Dasiyah. Tapi sayang, budaya mereka saat itu yang mengubur harapan emas Dasiyah untuk kretek Indonesia sampai hari ini.

Film tersebut sangat menggambarkan tentang kondisi industri sigaret kretek tangan di negara kita saat ini. Tembakau menjadi komoditi yang cukup unggul di Indonesia. Kesuburan tanah di Indonesia adalah sebuah keajaiban dan berkah tersendiri. Bagaimana tidak, meskipun banyak jenis tanaman yang tumbuh, yang sebenarnya bukan tanaman endemik, tapi setelah ditanam di lingkungan alam tropis Indonesia, ternyata kualitas hasilnya tak kalah dibandingkan dengan saat tanaman itu dibudidayakan di negara aslinya. Contohnya, tentu melimpah. Antara lain sebutlah tembakau, kopi, singkong, jagung dan masih banyak lainnya. Sekalipun hampir bisa dipastikan secara historis berasal dari luar Indonesia, namun karena tembakau telah menjadi tanaman budidaya dan mata pencaharian masyarakat sejak ratusan tahun lalu, akhirnya tak sedikit ditemui folklor yang menarasikan tanaman ini berasal dari Indonesia.

Tembakau memiliki sejarah yang begitu panjang, bahkan menjadi salah satu titik utama dalam sejarah dunia. Tembakau juga menjadi salah satu senjata utama dalam penyelundupan ke negara-negara musuh secara ilegal. Tanaman ini kerap dijadikan sebagai obat, sehingga penggunaannya cukup populer. Mulai dari khasiat yang menyembuhkan atau bahkan mematikan. Bukan hanya rokok, ada banyak tradisi nusantara yang masih menggunakan konsumsi tembakau sebagai bahan utamanya. Sebutlah tradisi nyirih, nyereh nginang atau nyusur. Tradisi mengunyah tembakau mejadi praktik umum masyarakat yang sinonim dengan mengunyah sirih. Adapun ngudud adalah tradisi lama nusantara yang dilakukan dengan membakar tembakau. Istilah rokok sendiri baru digunakan belakangan, yaitu abad ke-19. Berasal dari bahasa Belanda yaitu ro’ken yang pada mulanya menghisap pipa dan cerutu.

Tradisi inilah kemudian menjadi gaya baru dan tren masyarakat Indonesia sampai hari ini yang sekaligus mewariskan budaya, juga menyumbang kontribusi peningkatan perekonomian. Karena, tradisi ngudud atau membakar tembakau menjadi tradisi yang turun menurun dari generasi ke generasi. Keotentikan kretek lokal menjadi keunikan tradisi bagi masyarakat Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik industri sekaligus pengrajin rokok kretek tangan untuk tetap eksis dan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Hadirnya sigaret kretek mesin juga menjadi petaka dan juga kendala perekonomian bagi seluruh aliansi masyarakat yang bernaung di bawah industri sigaret kretek tangan. Pasalnya, dengan hadirnya SKM (Sigaret Kretek Mesin), banyak buruh yang terancam mangkrak dari pabrik karena tergantikan dengan mesin. Harap diingat, bahwa industri sigaret kretek tangan memiliki peran signifikan sebagai pilar ekonomi masyarakat. Tekanan kenaikan cukai akhirnya membuat pabrikan dihadapkan pada pilihan untuk melakukan efisiensi biaya dengan merumahkan pekerjaannya, atau bahkan ternacam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 – 2024 menuai banyak sorotan sebagai kebijakan multitahunan yang anyar bagi industri. Salah satu pihak yang terdampak, adalah industri segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja sebagai pelinting. Keberadaan industri kretek di tengah-tengah pemukiman, banyak disyukuri masyarakat, karena mampu menyerap tenaga kerja sehingga mampu membantu perekonomian keluarga. Selain keberadaannya menguntungkan masyarakat, industri kretek memberikan keuntungan bagi negara sebagai penyumbang terbesar dalam pemasukan negara dari pajak cukai yang diterapkan pemerintah. Keberadaan industri ini banyak melibatkan masyarakat dalam perkembangannya bukan hanya dari pemerintah, pabrik yang terkait, jasa, para petani dan juga mereka yang bekerja sebagai buruh di perusahaan kretek.

Kretek sendiri adalah suatu barang yang semula hanya untuk pengobatan berubah menjadi sumber manfaat dan kenikmatan. Bermula pada tahun 1900-an dengan penemuan inovasi kretek yang laku di pasaran memengaruhi kemunculan para usahawan kretek mulai dari pengusaha rumahan hingga pabrik. Perkembangan kretek yang semakin penting tidak dapat dipisahkan dari permintaan pasar. Kretek juga menjadi komoditi beberapa kota, salah satunya adalah Kudus yang menjadi kabupaten yang perkembangan ekonominya paling dinamis setidaknya dibanding dengan daerah-daerah sekitarnya. Tidak sebatas Kudus, tetapi juga di beberapa daerah seperti Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Tulungangung, Malang dan seterusnya. Ratusan ribu orang telah mendapatakan mata pencaharian mereka sebagai buruh dari industri kretek. Baik sebagai buruh di pabrik, tenaga administrasi di kantor, sopir, satpam dan lain sebagainya. Sementara itu ada ratusan ribu yang lain mendapatkan nafkah dari berbagai macam perusahaan yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan industri kretek. Mulai dari petani buruh tembakau dan petani cengkeh, para pemetik daun tembakau dan pemetik cengkeh, pekerja perusahaan percetakan angkutan, dan lain-lain. Perkembangan industri kretek yang semakin pesat membuat berbagai varian kretek yang beredar dipasaran. Perbedaan dalam varian tersebut adalah proses pembuatannya. Kretek tangan diproduksi secara tradisional oleh para perajin lokal. Proses pembuatannya melibatkan banyak pekerjaan tangan, mulai dari memilih bahan baku hingga membalut rokok. Kretek tangan bukan hanya sebuah produk, tetapi juga warisan budaya yang menjalin komunitas dan tradisi di seluruh Indonesia. Pekerjaan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan keberlanjutan dalam profesi pengrajin kretek.

Sebuah asa yang dititipkan pada perusahaan sigaret kretek tangan cukuplah besar dan menjanjikan. Bukan hanya tentang melestarikan budaya nusantara dan mengenalkan sumber daya alam dan masyarakat kepada dunia saja. Komoditas tembakau adalah salah satu pundi-pundi menguntungkan yang nantinya akan kembali pada industri lokal sendiri. Banyaknya kehadiran rokok konvensional, atau perusahaan sigaret kretek mesin membuat masyarakat semakin lengah menyadari, bahwa Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk membuka lapangan pekerjaan bagi seluruh barisan kawula. Sekali lagi, bukan hanya yang bekerja pada industri sigaret kretek tangan saja. Tetapi juga sangat berpengaruh pada roda kehidupan petani tembakau, cengkeh, industri kertas linting, penyuplai, distributor tembakau, dan masih banyak lainnya. Ketelatenan dan keuletan para perempuan Indonesia juga sangat mendukung peningkatan perekonomian negeri, juga berperan pada pemberdayaan perempuan Indonesia.

Mendongkrak perekonomian, bukan dengan meninggalkan kelestarian budaya dan juga warisan leluhur kita hari ini. Sudah saatnya kita mengenalkan dan meninggalkan jejak emas kepada anak cucu generasi dengan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah ruah. Kenikmataan dan kelanggengan warisan inilah yang memperkaya tradisi Indonesia untuk dikenal dunia. Sangat naif, bila sumber daya alam negara kita yang beraneka rupa bila hanya dimanfaatkan investor negara orang, atau diperbiniskan bukan untuk anak negeri. Serial Gadis Kretek hanyalah representasi dan sebuah pengenalan tentang budaya dan juga kearifan lokal pada dunia tentang kretek dan rempah pilihan Indonesia. Bila harus berhenti dan tak lagi lestari. Indonesia haruslah siap kehilangan dan menunggu negara lain untuk mengakui. Satu persatu sirna, anak bangsa akan selamanya susah untuk merebut kembali dan mau mengenali.

Krisisnya Nalar Kritis

Pergolakan dalam hal kurikulum pendidikan di negeri kita, menjadi hal lazim bagi seluruh lintas generasi. Bukan hanya bagi pendidik dan peserta didik, tetapi keresahan dan permasalahan ini juga sangat mendominasi para orang tua, yang sangat berharap akan keberhasilan anaknya di masa depan. Terhitung, hampir 11 kali mengalami pergantian kurikulum pendidikan sejak tahun 1947 hingga kini. Adapun kurikulum yang sedang diterapkan saat ini adalah Kurikulum Merdeka Belajar yang diusung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem.

Banyak kritik dan saran, kesan dan pesan terkait kebijakan mendikbud ini. Belum lagi, permasalahan yang menjamur di setiap lini lapisan masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini tidak merata, saling tumpang tindih, ketimpangan. Belum selesai memahami, memaknai, mengimplementasi, dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan yang diusung sebelumnya, lalu dipaksa untuk menerima dengan legowo kebijakan selanjutnya. Baiklah, mungkin terbilang mudah bagi sekolah yang notabene sesuai dengan kualifikasi yang diperkirakan Mas Menteri; fasilitas tercukupi, SDM yang memadai, lingkungan yang mendukung, para orang tua yang mampu dan suportif dan masih banyak lainnya. Lalu, bagaimana dengan kami yang harus beradaptasi dengan hal tidak serupa? Tentu jomplang, berat sebelah dan tidak seimbang.

Hadirnya teknologi, memang tidak bisa terus disalahkan. Teknologi memang hadir untuk memudahkan segala pekerjaan manusia. Mereka menciptakan, mereka yang mengatur, mereka yang memfungsikan. Hadirnya teknologi, memang sudah tidak asing seharusnya. Apalagi semenjak pandemi merebak, teknologi dan kecerdasan buatan sudah menjadi sahabat. Sayangnya, tidak semua memahami dan kemudian memfungsikan dengan bijak. Misal, hadirnya Chat GPT sebagai alat untuk mempermudah diskusi dan menuangkan ide untuk ranah kehidupan. Faktanya, kita semua sudah terlalu percaya bahwa AI (Artificial Intelligent) bisa menggantikan tugas guru di sekolah. Anak-anak sudah tidak perlu membaca dan sibuk mencari referensi sumber, sibuk mendengarkan penjelasan guru yang membosankan, tidak menarik. Belum lagi harus berhadapan dengan karakter dan pribadi guru pengajar yang menakutkan, menyeramkan, pemarah, suka mem-bully para siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar. Ini bukan hanya sekali dua kali saja. Sejujurnya, para siswa tidak pernah berfikir dan merindukan gurunya saat mengajar di sekolah. Mereka hanya ingin bertemu sahabatnya di sekolah, karena juga malas dan tidak betah di rumah.

Problematika seperti ini, memang tidak pernah disadari oleh individu pendidik sendiri. Padahal, komponen utama dalam kegiatan mendidik itu sendiri adalah kesamaan resonansi antara pendidik dan peserta didik. Tetapi, pada realitanya. Pendidik hanya berfokus pada tujuan utama dirinya sendiri; hanya mengajar dan menyampaikan ilmu di buku. Urusan pembentukan karakter, kematangan mental, nalar yang kritis untuk bisa menghadapi permasalahan yang lebih kompleks, menjadi nomor sekian. Ya, pada akhirnya mengajar yang juga sebagai kegiatan mulia seorang guru, dimonetisasi dan hanya dijadikan ladang penghidupan bukan menjadi ladang amal.

Nalar kritis yang selalu digaungkan sebagai harapan pelajar pancasila itu, hanya berwujud sebagai jawaban hitam putih saat ujian. Walau tugas-tugas dalam lembar kerja siswa tertanda sebagai soal HOTS. Apakah kualitas nalar berfikir kritis juga serupa? Rasanya tidak. Mengapa? Karena penyampaian materi di kelas, jarang bahkan tidak pernah sama sekali mengajak para siswa berfikir kritis, menggunakan kemampuan berfikir yang luar biasa, memfungsikan logika yang sudah Allah karuniai pada setiap hamba. Ketakutan para siswa dengan jawaban yang salah, sangat mempengaruhi kemampuan berfikir mereka yang bebas. Mereka memikirkan jawaban yang umum, jawaban yang tertulis di bukunya, dan juga jawaban tepat pada pilihan ganda.

Belum lama ini, Maudy Ayunda sempat ditanya oleh konten kreator, tentang kebijakannya bila dinobatkan sebagai menteri pendidikan. Maudy menjawab, bahwa ia akan menghapuskan asesmen pilihan ganda, dan menggantinya dengan soal esai berbasis critical thinking, ia juga menyampaikan bahwa ingin mengajak anak bangsa untuk punya hobi belajar dan mencintai ilmu seperti dirinya. Lalu, apa kabar hari ini? Bila memang hal itu terjadi setelah kebijakan Mas Menteri yang telah lama menghapuskan UN, meniadakan skripsi bagi mahasiswa dengan mengganti tugas yang sepadan, kemudian disusul dengan kebijakan-kebijakan yang hampir serupa di masa yang akan datang. Bagaimana dengan kondisi lapangan hari ini yang masih sangat lemah dalam hal bernalar kritis? Semoga pendidikan anak bangsa, kebijakan pemerintah dan urusan mengenai masa depan sebuah peradaban semakin membaik dan juga bermanfaat untuk agama, nusa dan bangsa.

Kontroversi Perihal “Good Looking” di Ranah Masyarakat

Padahal, menjadi good looking bukan hanya tentang paras wajah dan keindahan bentuk fisik dan cerahnya warna kulit. Jangan menyerah dulu ya, Kawan!

Kita tidak asing dengan kriteria yang menyebutkan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon karyawan atau pegawai. “Minimal good looking atau berpenampilan menarik.” Alih-alih, pada akhirnya orang yang tidak mencukupi kriteria itu menjadi putus asa dan mengeluh, sering kali kita temui di media sosial, tentang keluhan bahwa menyesali karena dirinya tidak mempunyai kelebihan itu. Padahal, sebenarnya perlu atau tidak kriteria ini harus dimiliki

Bukan hanya dalam ranah pekerjaan, hal ini sering kali kita temui di setiap lini kehidupan kita. Baik mereka yang memiliki penampilan yang menarik, baik itu paras wajah, kondisi fisik, gestur tubuh sangat mempengaruhi. Mereka yang memilikinya, acap kali dipandang lebih baik nasibnya, bisa dipertaruhkan, dan kehidupannya lebih menjamin, lebih didahulukan dan diutamakan. “Sekarang apa-apa mandang fisik, ya? Apalah daya wajahku pas-pasan begini?” Sering mendengar, atau bahkan kita adalah pelakunya.

Padahal, menjadi good looking bukan hanya tentang paras wajah dan keindahan bentuk fisik dan cerahnya warna kulit. Jangan menyerah dulu ya, Kawan!

Begini. Secara psikologi, menurut narasi yang dikutip dari jurnal Evolutionary Psychology, dikatakan bahwa ”Basically seeing something beautiful can make us happy and fresh again. This is because activities that seem to have no benefit, can improve memory and motivate yourself.” Atau pada dasarnya melihat sesuatu yang indah bisa membuat kita bahagia dan segar kembali. Ini karena aktivitas yang sepertinya tidak ada manfaatnya, dapat meningkatkan daya ingat dan memotivasi diri sendiri.” Saat seseorang melihat pemandangan atau sesuatu yang indah untuk dipandang, maka akan menambah efek bahwa seseorang bisa menyegarkan fikirannya kembali, menjernihkan fikirannya yang keruh, -walau di waktu yang singkat. Itulah sebab, mengapa mempunyai kriteria good looking sangat dibutuhkan dalam dunia pekerjaan, karena bisa meminimalisir sesaknya fikiran dan suasana dunia pekerjaan saat itu. Lalu, bagaimana nasib kita yang ditakdirkan tidak memiliki paras indah? Kita hanya menonton saja?

Tidak. Kita tidak patut untuk berkecil hati. Juga tidak pula putus asa atas takdir yang menjadi anugerah luar biasa. Walau good looking menjadi sebuah tuntutan, tidak berarti kita menjadi insecure dan putus asa. Good looking bukan hanya ditinjau dari indahnya wajah, kebagusan fisik, baju yang mahal, dan dandanan yang melirik mata. Salah satu bentuk manifestasi dari good looking sesungguhnya adalah good value dari seseorang tersebut. Adanya pilihan good looking sebenarnya adala suatu opsi yang ditawarkan untuk menilai seberapa sehatnya fisik seseorang. Karena dipastikan bahwa, orang yang berpenampilan baik, ia memiliki kondisi fisik yang baik, kemampuan berfikir dan nalar yang baik, akhlak dan adab yang baik. Walau, dari semua itu tidak bisa kita dapatkan saat pertama kali bertemu. Tetapi, seseorang berhak untuk punya penilaian di awal perjumpaan. Indah tutur kata, fikiran yang rasional, akhlak yang mulia memang tidak ditentukan dari penampilan. Ada banyak orang yang tampil dengan jas parlente tetapi akhlaknya di bawah rata-rata. Maka, perlu mengubah standar. Good looking bukanlah menjadi titik penting dalam penilaian seseorang. Good value lebih bisa diterima di masyarakat, di semua kalangan.

Berpenampilan menarik tidak hanya bisa dinilai dari paras wajah. Sesungguhnya keindahan terletak dari keserasian. Kesesuaian kita dalam berpakaian, dengan tempat dimana kita ada, dengan siapa yang kita temui, dengan topik apa yang akan dibahas. Seharusnya, kita bisa lebih dewasa dan mengerti tentang hal itu, dan mulai membiasakannya. Saat kita bisa  mulai membedakan dan menyesuaikan, siapapun dan dimanapun kita berada akan lebih bisa menerima dan menghargai keberadaan kita. Karena, ada banyak orang yang berpenampilan menarik, tampan dan cantik, tetapi acap kali tidak dihargai karena tidak mempunyai karakter yang baik, keserasiannya dengan pakaian yang ia kenakan. Kalau seseorang kehilangan uang, sebenarnya ia tidak kehilangan apapun. Karena uang bisa didapatkan dengan mudah, hari ini. Kalau seseorang kehilangan kesehatan, ia bisa saja kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup. Tapi, jika seseorang kehilangan karakter dalam dirinya. Ia kehilangan segalanya.  

Buka Bersama, Bukan Untuk Acara Pamer Pencapaian    

Bulan Ramadhan, sudah berada di pertengahan rembulan yang semakin terang benderang. Hal-hal yang dirindukan di sebelas bulan terakhir, terbayarkan. Bulan, dimana banyak tradisi tidak ditemui di 11 bulan lainnya. Merindukan santapan khas ramadan, takjil saat berbuka, ngabuburit bersama kerabat dan rekan, lantunan shalawat tarhim dan imsak, gemuruh musik patrol yang membangunkan sahur setiap malam, tidak kita jumpai, jika kita tidak ditakdirkan menemui keindahan berkah bulan ramadhan. Maka, patut kita syukuri tiada tara atas pertemuan dan perkumpulan kita di bulan yang penuh dengan magfirah dan ampunan.

Salah satu tradisi yang masih membudaya di setiap kalangan, salah satunya adalah tradisi buka bersama. Jangan salah, di setiap pojok kota, pinggir maupun tengah kerumunan jalan. Adzan Maghrib menjadi lantunan paling favorit, bagi setiap muslim yang menjalankan puasa. Ajakan BukBer (baca: buka bersama)  tidak pernah berhenti satu hari saja. Setiap hari, warung-warung baik resto bintang atau kaki lima full booked untuk acara buka bersama. Menyenangkan memang, acara buka bersama selalu menjadikan kenangan yang lama kembali tercipta. Tapi, ada salah satu budaya yang menjadikan tradisi buka bersama terasa muak dan menghilangkan nilai-nilai kebersamaan. Apa itu? Flexing!

Sedang terngiang-ngiang di telinga kita, istilah baru ini. Sebenarnya ini bukan hal baru, tapi orang-orang semakin memunculkan tren ini dengan mengikuti gaya hidup kebarat-baratan. Flexing, berasal dari bahasa Inggris, menurut urbandictiorary.com, bermakna “to show off, the act of bragging about money-related things, such as how much money do you have, or about expensive possesions.” Atau bisa juga diartikan dengan pamer, tindakan menyombongkan diri tentang hal yang berhubungan dengan uang, atau tentang harta dan benda mahal.

Akhir-akhir ini, marak juga tentang para pejabat yang terangkut karena urusan pamer dengan harta kekayaan, karena postingan sang anak, malah justru menggiring orang tua pada hal yang tidak diinginkan, membuka rahasia-rahasia yang seharusnya diketahui oleh publik, tapi disembunyikan dengan ayem-ayem saja. Jangankan pejabat, yang (barangkali) memang punya duit dan harta. Akhir-akhir ini, ramai pula jadi perbincangan. Status atau postingan anak-anak kita yang menanyakan “info sewa iphone atau vespa matic buat bukber kelas.” Saat itu, kami tak sengaja membaca tulisan yang lewat di cerita instagram. Spontan, kaget. Karena, hal seperti ini seyogyanya memang tidak wajar. Tanpa babibu, langsung kami tegur. Karena kami sadar, posisi kami adalah pendidik, peduli dengan keprihatinan anak-anak. Kemudian, si anak menjawab. Bahwa, untuk sekadar foto-foto, “biar bagus, keren”. Jawaban ini tidak terduga. Sejak kejadian itu, kami tidak dapat lagi melihat cerita instagramnya, entah disenyapkan, atau dengan tindakan apa. Mungkin, si anak jengkel karena teguran gurunya.

Sampai saat ini, kami merasa gumun. Bertanya-tanya. Memang alasannya apa? Kalau memakai handphone biasa? Apa salahnya. Kalau berangkat dengan kendaraan seadanya. Toh, acara bukber kan, untuk membatalkan puasa, paling tidak makan, atau minum. Lalu untuk apa? Harus memakai standar iphone? Apa keistimewaannya? Oh, setelah itu kami baru sadar. Bila gaya hidup para hedonis ini sudah meracuni anak-anak, bahkan kita sendiri tentunya. Standar yang ditetapkan saat mengunggah foto atau cerita instagram, keren dengan menggunakan aplikasi bawaan iphone. Jalan kemana-mana, menggunakan vespa matic lebih gaul, dibanding dengan kendaraanlainnya. Entah, siapa yang membuat batasan ini. Tentu salah kaprah, bila memiliki fasilitas itu semua jika tidak mempunyai tujuan yang tepat. Memiliki benda itu, tidak salah. Karena memang ada spesifikasi yang tidak dimiliki handphone lain. Menjadi salah nilainya, jika hanya untuk dibuat ikut tren atau gegayaan.

Bukber, menjadi hal yang mulai dihindari ajakannya. Karena, banyak pertanyaan, ujaran yang menyebutkan tentang pencapaian karir, nasib, jumlah minimum maksimum harta, menjadi topik perbincangan. Padahal, tujuan kita untuk berkumpul. Untuk bertemu, untuk berdiskusi, untuk mengobrol. Tapi, bisa kan? Jika bukan tentang pamer sana-sini. Untung, bila lawan bicara juga saling menghormati, bila berada di posisi yang sama. Bayangkan, bila kita menyebutkan di depan orang yang nasibnya tak selalu sama? Bukankah bagian dari kesombongan luar biasa?

Flexing akan sulit dihilangkan, bila gaya hidup hedonis menjadi sorotan, bila tontonan selebgram menjadi tuntunan, merasa ingin dihormati secara materi selalu menjadi tuntutan. Apalagi, bagi mereka yang punya gaya hidup elit, tapi ekonomi sulit. Pinjaman online berkeliaran, paylater menumpuk sampai tercekik jeratan, rentenir tertawa melihat gaya hidup dan pinjaman yang tidak bisa terbayar. Sebenarnya, apa yang membuat seseorang berniat untuk memamerkan harta kekayaan pada orang lain? Terlalu menyedihkan-kah hidupnya? Hingga kehidupannya harus diketahui banyak orang? Hingga kita harus menilai dengan pencapaian yang dimiliki? Hingga kita harus punya sesuatu yang bernilai di mata orang lain, hanya untuk mengemis penghormatan?

Mengapa Harus Kartini?

“Do re mi fa sol mi do, la do si la sol.

Fa la sol fa mi do, re fa mi re do.”

Jika not di atas dinyanyikan dengan melodi yang indah, tentu nada ini tidak asing di telinga. Siapa yang tak asing dengan petikan dari lagu ini? Hampir dari setiap warga Negara Indonesia hafal dengan salah satu lagu kebangsaan dan kebanggan rakyat Negara Indonesia. Syairnya begitu bermakna, indah untuk dilantunkan, pun dinyanyikan, apalagi jika memang harus berpadu dan bersahutan, bangga rasanya memiliki seorang pejuang yang jasanya mungkin akan selalu kita kenang.

Tanggal 21 April selalu identik dengan Hari Kartini, hari yang selalu diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Republik Indonesia untuk mengenang salah satu tokoh nasional, pahlawan perempuan, yaitu Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904), atau biasa kita sebut dengan RA. Kartini. Tak pernah lupa juga, tanggal 21 April selalu identik dengan perempuan berbusana kebaya atau baju adat di setiap daerah di Negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote, ikut dan turut serta memperingati hari Kartini. Padahal, siapa sangka? Hari Kartini tidak pernah ada dalam daftar hari libur nasional. Tetapi khalayak Indonesia tak pernah lupa mengingatnya.

Pesan-pesan yang dituliskan olehnya dan dikirimkan kepada salah satu sahabatnya dari kaum penjajah, yaitu Rosa Abendanon dan Estelle Zeehandelaar, berkali-kali tertulis dalam sejarah bahwa karena jasana itulah, terciptalah suatu pandangan emansipasi wanita, yang diyakini hinggi saat ini selalu menjadi power bagi seluruh kaum wanita pada umumnya. Rasanya, hanya jasa Kartini saja yang dikenang dalam sejarah Negara Indonesia untuk suatu pembelaan dan perjuangan kaum wanita. Semua pesan-pesan itu dapat dibaca, dalam kumpulan surat yang diabadikan dengan judul “Door Duiternis Tot Licht,” kami lebih mengenalnya dengan judul “Habislah Gelap Terbitlah Terang.”

Pernahkah kita berfikir, mengapa hanya jasa Kartini yang selalu dikenang? Apakah tidak ada kaum perempuan yang saat itu ikut berjuang, mempunyai kualitas yang sama bahkan lebih hebat darinya? Apakah tidak kita temukan, sosok dan tokoh perempuan lainnya yang selalu mengispirasi perempuan-peremouan saat ini, untuk bisa lebih bangkit dari keterpurukan yang ada. Bagkit dari segala stigma, gosip, isu ataupun segala sesuatu yang menyudutkan perempuan, hingga perempuan tak dapat lagi punya kesempatan emas untuk menyongsong masa depan yang cerah? Apakah tidak ada perempuan lain selain Kartini yang patut kita teladani?

Jawabannya, ada. Jumlahnya-pun, banyak!

Barangkali, kita pasti tahu dan pernah mendengar nama-nama perempuan yang mengispirasi, jauh sekian tahun lamanya sebelum Kartini lahir. Ada Ratu Kalinyamat (1520 – 1579), Laksamana Keumalahayati (1550 – 1615), Nyai Ageng Serang (1752-1828), Martha Christina Tiahahu (1800 – 1818), Siti Manggopoh (1880 – 1965), Cut Nya’ Dhien (1848 – 1908), Niken Lara Yuwati (1825 – 1830), Rohana Kuddus (1884 – 1972), Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900 – 1969), HR. Rasuna Said (1910 – 1965), dan masih banyak lagi perempuan-perempuan yang sangat menginspirasi. Tentunya mereka bisa dapat kita jadikan sebagai idola untuk bisa meneladani peran-peran hebat mereka.

Perjuangan yang dilakukan oleh segenap perempuan yang disebutkan demikian, tentu bukanlah perjuangan ala kadarnya. Tak kalah hebat dari perjuangan RA. Kartini saat itu untuk memperjuangkan hak kesetaraan perempuan dan emansipasi perempuan di mata penjajah dan kaum lelaki. Tidakkah kita pernah berfikir? Apakah tindakan untuk memperjuangan suatu pembebasan dari perbudakan para perempuan hanya dengan mengirimkan surat dengan kaum penjajah? Apakah hanya perjuangan seperti demikian untuk bisa menyuarakan hak? Coba kita bayangkan, jika kita hanya meneladani, dan mengikuti langkah-langkah RA. Kartini sekadar untuk mengirimkan surat-surat serta suara  hati kaum perempuan kepada sahabat kalangan atas, rasanya tidak akan pernah imbang dan cukup. Apakah kiranya akan terketuk hati, untuk bisa mengirimkan pesan terbuka terhadap hak, isu, derita kaum perempuan hanya berakhir dengan surat belaka? Tentu tidak.

Salah satu surat dalam buku itu, adalah saat Kartini menginginkan untuk perempuan Indonesia dapat mempelajari banyak bahasa, karena menurutnya dengan mempelajari banyak bahasa agar paham akan buah pikiran penulis buku yang berbahasa asing lainnya. Kartini berharap, agar perempuan dapat merasakan pendidikan yang tinggi untuk bisa memperbaiki keterpurukan yang dialami oleh para perempuan pada saat itu.  

Jika hal ini berlangsung pada era Kartini, yaitu pada tahun 1879 sampai 1904. Apakah nasib yang dialami para perempuan lebih terpuruk dan terbelakang? Tidak. Ada perjuangan kaum perempuan lain yang tak kalah hebat dan patut untuk dikenang. Ada Ratu Kalinyamat, yang tercatat oleh Ahli Sejarah Portugis Diogo do Couto yang menyatakan bahwa Ratu Kalinyamat memimpin pasukannya di Jepara untuk melawan penjajah.

Tak lupa, perjuangan Laksamana Keumalahayati yang tangguh, tak tertandingi pada masa itu bahkan hingga kini. Perempuan yang lahir di Tanah Aceh pada tahun 1560 ini memimpin 40 kapal perang, dengan kekuatan 1000 pasukan untuk menyerang Benteng La Formosa, tak hanya itu Malahayati juga memimpin pasukan Inong Balee untuk berperang dan membunuh Cornelis De Houtman (1599). Apakah cukup hanya sampai disitu saja? Wah, tentu tidak. Malahayati bukanlah perempuan biasa, bukanlah hanya terkenal dengan kualitasnya dalam memimpin dan menyelesaikan masalah dan kudeta. Malahayati adalah perempuan yang cerdas. Ia menguasai banyak bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Arab, dan menjadi guru khusus Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis. Malahayati adalah satu-satunya perempuan yang menjadi Panglima Armada Kapal Perang.

Apakah kiprah dan eksistensi perempuan di era saat ini, hanya karena perjuangan dari seorang RA. Kartini? Tentu tidak! Apakah Kartini memberikan andil yang cukup besar bagi perempuan saat ini untuk dapat bergerak dan menyuarakan aspirasinya untuk didengar? Belum tentu juga. Ada banyak sekali keteladanan yang dapat diambil, diteladani, dicontoh, dikenang selain dari seorang tokoh Kartini. Lantans mengapa kita kita tidak pernah mau mencari tahu, siapakah sosok mereka? Mengapa hanya tanggal 21 April untuk dikenang? Mengapa hanya ada sebutan Hari Kartini? Mengapa tidak ada Hari Cut Nya’ Dhien, Hari Malahayati, Hari Siti Manggopoh, dan hari-hari lainnya. Mengapa selama ini kita hanya mengenang yang sebenarnya tak berarti banyak pula untuk kita?

Barangkali, itulah yang membuat perempuan dan generasi saat ini, sangat tidak leluasa untuk berjuang lebih keras, bergerak lebih cepat kilat, berkarya lebih hebat dan lain-lainnya. Mungkin kita lupa, bahwa sebenarnya adabanyak perempuan yang patut kita teladani, ingat jasanya, kenang, dan ceritakan untuk anak-cucu kita selanjutnya. Kita sengaja tidak diingatkan dan nama-nama mereka sengaja dihapus dalam sejarah, agar bangsa ini tak bisa lebih maju dalam banyak hal. Apakah bisa berakibat demikian? Boleh iya dan boleh tidak, tergantung bagaimana generasi dan peradaban ini kita genggam bersama.

Mengapa harus Kartini?

Jawabannya adalah tidak harus. Untuk menjadi perempuan hebat, tangguh, kuat, kokoh, cerdas dan bermartabat. Tidak harus selalu mengambil keteladanan dari RA. Kartini seorang. Menjadi perempuan, harus selalu sadar dan disadarkan bahwa peradaban suatu bangsa dan masa ada di rahimnya. Masa depan suatu generasi ada dalam didikannya. Perempuan yang shalihah akan selalu menjadi pendamping seorang pemimpin sekaligus akan menjadi ibu bagi seorang pemimpin.

Maka, jangan menjadi perempuan yang biasa – biasa saja.

Jadilah perempuan yang luar biasa!

Bukan Salah Ucap! Kamu Salah Berfikir!

Begitu pesan guruku, saat itu. Masih sangat teringat jelas, sebelum membekukan diri, sibuk berintrospeksi.

Padahal, sesungguhnya, pokok dari kesalahannya sama. Salah kata, salah ucap, salah arti salah makna. Aku acap kali berusaha untuk menyuarakan pendapat, apa yang berada dalam benak, pertanyaan-pertanyaan bodoh, yang sebenernya kurasakan bahwa itu murni dari ketidaktahuanku. Tapi malah berujung pembodohan bagi diriku. Sangat bias, bukan ingin mengelak atas kebodohan yang kurasakan hari ini. Tapi, musuh terbesar dan tersebar dalam diri hari ini adalah rasa sok ingin tahu dan sok pandai dengan apa yang disampaikan orang lain. Bukankah itu adalah informasi penting, yang sebaiknya didengarkan dahulu, diterima, dicerna baik-baik dengan tepat dan cermat, kemudian jika memang ada yang mengganjal dalam keyakinan yang genap. Sampaikan dengan cara yang tepat, dengan data yang lengkap. Jika tak dapat membuktikan, diamlah sebentar. Belajarlah tentang banyak hal. Tidak semua, tentang apa yang tidak kamu tahu, ataupun tidak kamu setuju itu harus dibantah, kan?

Nahasnya, ternyata tidak seperti apa yang dibayangkan. Aku berusaha untuk tetap mencoba menjawab dengan keyakinanku yang tidak utuh, mencapai setengah saja belum sampai, apalagi seutuhnya. Jadi, yang kubicarakan, kujelaskan, kusampaikan pada orang lain tentu tidak lengkap. Kemudian, itulah yang menjadi kesesatan yang nyata, bagi siapa yang melahapnya mentah-mentah tanpa memasaknya. Kesalahan berfikir ini sangat menjadi kerancuan dalam berargumen, beropini dan berpendapat. Pada akhirnya, informasi yang terekam dalam benak ini bukan menjadi suatu ilmu dan juga menjadi pelampung bagi yang telah tenggelam di dalam lautan diskusi yang menghanyutkan. Justru menjadi petaka, dan ombak besar. Bahaya, bagi yang tak memiliki lisensi ahli berenang yang handal.

Kesalahan dalam ucapan, memag banyak berujung sebuah nista. Sebenarnya, bukan ucapan yang menjadi masalah. Kata bisa dirangkai, kalimat bisa disisipkan peribahasa manis yang berurai. Tapi, kerancuan saat berfikir, menentukan apa yang dimaksud, menyampaikan apa yang tebersit dengan ungkapan yang tepat. Tidak bisa harus disamakan dengan menyuapkan sesendok nasi kepada mulut yang siap menganga. Keduanya, memang sama-sama dicerna. Makanan dan ucapan tentulah berbeda pencernaannya. Kerancuan dalam berfikir, kesesatan niat yang tertanam, mengakar begitu dalam, bukanlah sekali dua kali terbukti dengan kesalahan. Tapi puluhan bahkan ratusan kali memupuknya, hingga subur tumbuh dan menyebar, ikut menyuburkan tanaman di sekitar. Jika pupuk yang diserap adalah sumber racun. Bukankah tanaman yang ikut mencernanya juga akan menjadi racun, menjadi penyakit, lalu orang yang memanfaatkannya akan sakit bersama? Itulah yang menjadi kekhawatiran yang harus selalu direnungkan!

Kesalahan seseorang dalam berucap, masih bisa disembuhkan jika prinsip yang tertancap adalah kebenaran, tanpa keraguan. Lain hal, jika memang seseorang sudah tenggelam dalam keruhnya cara berfikir. Akan susah diperbaiki, diobati, diajari. Karena memang sangat keruh, bahkan untuk menemukan kejernihan hati harus menunggu endapan sekian lama. Tak apa, jika memang itu menyadarkan dan kembali menyucikan hidupnya.

Jika memang kamu berada di titik ini. Jangan tunggu sampai kamu harus jatuh di titik nol, lalu menunggu kembali ada yang menarik tanganmu kelak. Ya, jika memang ada, tidak apa. Kalau sungguhan tidak ada manusia? Juga jangan putus harapan dan asa. Ada Allah yang punya milyaran tangan yang menarik, merangkul, memeluk, mengelus, menyeka air mata. Bacalah ayat-ayatNya tanpa keraguan itu. Kmebalilah dengan proses terbaik dengan petunjuk di dalamnya. Salahnya ucap, salah ungkap, salah maksud, salah urut, masih sangat bisa diperbaiki, jika keyakinan itu hadir. Jangan takut tertinggal dan terputus dari rahmat-rahmatNya. Jua, jangan lupa. Jika perlahan menyadari, pelajari apa yang telah kamu lalui dengan sebaik-baiknya notasi yang kamu rangkum, hanya kamu yang tahu. Semangat, ya!

Salaamatul insaani fii hifzhil lisaani
Keselamatan manusia itu dalam menjaga lidahnya (perkataannya)

Kembali Berbuah

Sekian warsa, merantau ke ujung kota. Dari yang tak pernah terduga, memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran, tidaklah cukup mampu menahan rasa rindu yang akan dirasakan bertahun-tahun lama. Bukan ingin untuk meninggalkan sanak saudara, jauh pergi. Ini adalah angan untuk terbang bersama doa-doa yang selama ini terpanjat siang dan malam. Pamit pada Ayah dan Ibu, untuk kemudian didoakan. Tak tahan, menahan isak. Air mata, rasanya malu-malu untuk terjun deras, tapi lingkar senyum menahannya. Begitu tabah dan kuat untuk melepas, menitipkan kepada Allah atas semua pinta dalam doa tahajjud, sepertiga malam.

Pulang dari ujung kota, lalu kembali pada rumah, yang diharap-harapkan saat menimba ilmu. Tak cukup hanya berbekal ilmu kering dalam kitab-kitab kuning. Membaca berjuta-juta garis dalam kitab terasa mudah. Tapi untuk mengajarkan, untuk mempraktikkan, untuk menuliskan, rasanya tidak cukup sekian warsa lamanya. Apa ternyata, dahulu masih sebentar untuk belajar?

Penuh tekad, penuh kesucian dan kemurnian hati untuk mau mengajar setalah belajar. Orang-orang baru yang ditemui, tak pernah sama dengan apa yang dipelajari. Hebat sekali, guru-guru yang dahulu baru mengenal kami. Kenal dengan kami saja, sebelumnya tidak. Tapi, setelah banyak meraup ilmu ilmu dan menadah doa darinya, kami jatuh hati, bahkan tidak ingin ditinggal pergi. Lalu, sekarang. Adalah giliran kami yang harus berdiri.

Pelajaran mengenal murid, tidak bisa disamakan dengan mengenal karakter atau tokoh fiktif yang dibuat dalam sebuah alur film dan cerita. Para penyair dan novelis, memang sering kali terinspirasi dari sifat dan watak dalam dunia nyata. Tapi, itu hanya transliterasi makna pada suatu momen saja. Tidak setiap saat dan waktu bisa menyamakan kisah setiap harinya. Satu murid yang ditemui, jika harus dipelajari. Haruslah membaca lebih dari puluhan buku untuk bisa benar-benar mengenali. Tapi, rasanya tidak perlu menghabiskan waktu untuk membaca buku demi mengenal betul karakternya. Tak perlu membaca, duduklah, jadilah bagian dari hidupnya, dan jadikanlah ia sebagai bagaian cerita dalam buku kehidupan kita.

Akan ada banyak hal yang kembali teringat, saat hati benar-benar murni ingin dipenuhi ilmu yang baru didapat. Kalau memang, merasa kurang tahu, pastilah ingin untuk belajar dan menempa diri. Lalu, bagaimana jika memang diri masih kurang dan harus mengajarkan lagi? Bukannya ilmu ini masih harus ditambah lagi?

Janganlah risau, karena ilmumu tak sampai. Dengan tulus, orang yang mau mengajar, akan dilipatgandakan keberkahan, akan dilipatgandakan kekayaan. Ya, kaya hati, kaya ilmu, kaya iman, kaya amal, kaya jasa, kaya kehormatan, kaya teman, dan kaya-kaya lainnya. Lalu mengapa tak mau menjadi kaya, hanya karena merasa tak mampu untuk mengajarkan? Ajarkanlah, lalu kau justru banyak mendapatkan ilmu yang kau ajarkan.

Allah tak akan membiarkanmu sendiri dalam kefanaan dan kenistaan. Tetaplah beriman, percaya bahwa biji-biji yang kau tanam hari ini, akan berbuah di hari akhir kelak. Kau mau mengajar setitik, maka akan lahir ilmu yang kau ketik hari ini. Kembalilah, atas nama ilmu yang Allah beri untuk kau ajarkan kembali. Tetaplah beriman, bahwa ilmu yang kau ajarkan hari ini, tak akan pernah berkurang, justru bertambah dan melimpah ruah atas embun keikhlasan yang menyiramkan pada akar aqidahmu yang kuat hari ini.

Sekian warsa, waktu yang tidaklah sempit. Maka luaskanlah, semua tentang makrifatmu dengan kembali mendengarkan, kembali menuliskan, kembali mengajarkan, dan kembalikanlah dirimu pada Tuhan. Masih ada banyak ilmu yang harus kau tanam, pada setiap benih-benih kehidupan anak cucumu kelak. Tumbuhlah subur, pada setiap keberkahan.

Al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy syajari bilaa tsamarin
Ilmu tanpa pengamalan bagaikan pohon tak berbuah.