“Do re mi fa sol mi do, la do si la sol.
Fa la sol fa mi do, re fa mi re do.”
Jika not di atas dinyanyikan dengan melodi yang indah, tentu nada ini tidak asing di telinga. Siapa yang tak asing dengan petikan dari lagu ini? Hampir dari setiap warga Negara Indonesia hafal dengan salah satu lagu kebangsaan dan kebanggan rakyat Negara Indonesia. Syairnya begitu bermakna, indah untuk dilantunkan, pun dinyanyikan, apalagi jika memang harus berpadu dan bersahutan, bangga rasanya memiliki seorang pejuang yang jasanya mungkin akan selalu kita kenang.
Tanggal 21 April selalu identik dengan Hari Kartini, hari yang selalu diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Republik Indonesia untuk mengenang salah satu tokoh nasional, pahlawan perempuan, yaitu Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904), atau biasa kita sebut dengan RA. Kartini. Tak pernah lupa juga, tanggal 21 April selalu identik dengan perempuan berbusana kebaya atau baju adat di setiap daerah di Negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai pulau Rote, ikut dan turut serta memperingati hari Kartini. Padahal, siapa sangka? Hari Kartini tidak pernah ada dalam daftar hari libur nasional. Tetapi khalayak Indonesia tak pernah lupa mengingatnya.
Pesan-pesan yang dituliskan olehnya dan dikirimkan kepada salah satu sahabatnya dari kaum penjajah, yaitu Rosa Abendanon dan Estelle Zeehandelaar, berkali-kali tertulis dalam sejarah bahwa karena jasana itulah, terciptalah suatu pandangan emansipasi wanita, yang diyakini hinggi saat ini selalu menjadi power bagi seluruh kaum wanita pada umumnya. Rasanya, hanya jasa Kartini saja yang dikenang dalam sejarah Negara Indonesia untuk suatu pembelaan dan perjuangan kaum wanita. Semua pesan-pesan itu dapat dibaca, dalam kumpulan surat yang diabadikan dengan judul “Door Duiternis Tot Licht,” kami lebih mengenalnya dengan judul “Habislah Gelap Terbitlah Terang.”
Pernahkah kita berfikir, mengapa hanya jasa Kartini yang selalu dikenang? Apakah tidak ada kaum perempuan yang saat itu ikut berjuang, mempunyai kualitas yang sama bahkan lebih hebat darinya? Apakah tidak kita temukan, sosok dan tokoh perempuan lainnya yang selalu mengispirasi perempuan-peremouan saat ini, untuk bisa lebih bangkit dari keterpurukan yang ada. Bagkit dari segala stigma, gosip, isu ataupun segala sesuatu yang menyudutkan perempuan, hingga perempuan tak dapat lagi punya kesempatan emas untuk menyongsong masa depan yang cerah? Apakah tidak ada perempuan lain selain Kartini yang patut kita teladani?
Jawabannya, ada. Jumlahnya-pun, banyak!
Barangkali, kita pasti tahu dan pernah mendengar nama-nama perempuan yang mengispirasi, jauh sekian tahun lamanya sebelum Kartini lahir. Ada Ratu Kalinyamat (1520 – 1579), Laksamana Keumalahayati (1550 – 1615), Nyai Ageng Serang (1752-1828), Martha Christina Tiahahu (1800 – 1818), Siti Manggopoh (1880 – 1965), Cut Nya’ Dhien (1848 – 1908), Niken Lara Yuwati (1825 – 1830), Rohana Kuddus (1884 – 1972), Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900 – 1969), HR. Rasuna Said (1910 – 1965), dan masih banyak lagi perempuan-perempuan yang sangat menginspirasi. Tentunya mereka bisa dapat kita jadikan sebagai idola untuk bisa meneladani peran-peran hebat mereka.
Perjuangan yang dilakukan oleh segenap perempuan yang disebutkan demikian, tentu bukanlah perjuangan ala kadarnya. Tak kalah hebat dari perjuangan RA. Kartini saat itu untuk memperjuangkan hak kesetaraan perempuan dan emansipasi perempuan di mata penjajah dan kaum lelaki. Tidakkah kita pernah berfikir? Apakah tindakan untuk memperjuangan suatu pembebasan dari perbudakan para perempuan hanya dengan mengirimkan surat dengan kaum penjajah? Apakah hanya perjuangan seperti demikian untuk bisa menyuarakan hak? Coba kita bayangkan, jika kita hanya meneladani, dan mengikuti langkah-langkah RA. Kartini sekadar untuk mengirimkan surat-surat serta suara hati kaum perempuan kepada sahabat kalangan atas, rasanya tidak akan pernah imbang dan cukup. Apakah kiranya akan terketuk hati, untuk bisa mengirimkan pesan terbuka terhadap hak, isu, derita kaum perempuan hanya berakhir dengan surat belaka? Tentu tidak.
Salah satu surat dalam buku itu, adalah saat Kartini menginginkan untuk perempuan Indonesia dapat mempelajari banyak bahasa, karena menurutnya dengan mempelajari banyak bahasa agar paham akan buah pikiran penulis buku yang berbahasa asing lainnya. Kartini berharap, agar perempuan dapat merasakan pendidikan yang tinggi untuk bisa memperbaiki keterpurukan yang dialami oleh para perempuan pada saat itu.
Jika hal ini berlangsung pada era Kartini, yaitu pada tahun 1879 sampai 1904. Apakah nasib yang dialami para perempuan lebih terpuruk dan terbelakang? Tidak. Ada perjuangan kaum perempuan lain yang tak kalah hebat dan patut untuk dikenang. Ada Ratu Kalinyamat, yang tercatat oleh Ahli Sejarah Portugis Diogo do Couto yang menyatakan bahwa Ratu Kalinyamat memimpin pasukannya di Jepara untuk melawan penjajah.
Tak lupa, perjuangan Laksamana Keumalahayati yang tangguh, tak tertandingi pada masa itu bahkan hingga kini. Perempuan yang lahir di Tanah Aceh pada tahun 1560 ini memimpin 40 kapal perang, dengan kekuatan 1000 pasukan untuk menyerang Benteng La Formosa, tak hanya itu Malahayati juga memimpin pasukan Inong Balee untuk berperang dan membunuh Cornelis De Houtman (1599). Apakah cukup hanya sampai disitu saja? Wah, tentu tidak. Malahayati bukanlah perempuan biasa, bukanlah hanya terkenal dengan kualitasnya dalam memimpin dan menyelesaikan masalah dan kudeta. Malahayati adalah perempuan yang cerdas. Ia menguasai banyak bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Arab, dan menjadi guru khusus Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis. Malahayati adalah satu-satunya perempuan yang menjadi Panglima Armada Kapal Perang.
Apakah kiprah dan eksistensi perempuan di era saat ini, hanya karena perjuangan dari seorang RA. Kartini? Tentu tidak! Apakah Kartini memberikan andil yang cukup besar bagi perempuan saat ini untuk dapat bergerak dan menyuarakan aspirasinya untuk didengar? Belum tentu juga. Ada banyak sekali keteladanan yang dapat diambil, diteladani, dicontoh, dikenang selain dari seorang tokoh Kartini. Lantans mengapa kita kita tidak pernah mau mencari tahu, siapakah sosok mereka? Mengapa hanya tanggal 21 April untuk dikenang? Mengapa hanya ada sebutan Hari Kartini? Mengapa tidak ada Hari Cut Nya’ Dhien, Hari Malahayati, Hari Siti Manggopoh, dan hari-hari lainnya. Mengapa selama ini kita hanya mengenang yang sebenarnya tak berarti banyak pula untuk kita?
Barangkali, itulah yang membuat perempuan dan generasi saat ini, sangat tidak leluasa untuk berjuang lebih keras, bergerak lebih cepat kilat, berkarya lebih hebat dan lain-lainnya. Mungkin kita lupa, bahwa sebenarnya adabanyak perempuan yang patut kita teladani, ingat jasanya, kenang, dan ceritakan untuk anak-cucu kita selanjutnya. Kita sengaja tidak diingatkan dan nama-nama mereka sengaja dihapus dalam sejarah, agar bangsa ini tak bisa lebih maju dalam banyak hal. Apakah bisa berakibat demikian? Boleh iya dan boleh tidak, tergantung bagaimana generasi dan peradaban ini kita genggam bersama.
Mengapa harus Kartini?
Jawabannya adalah tidak harus. Untuk menjadi perempuan hebat, tangguh, kuat, kokoh, cerdas dan bermartabat. Tidak harus selalu mengambil keteladanan dari RA. Kartini seorang. Menjadi perempuan, harus selalu sadar dan disadarkan bahwa peradaban suatu bangsa dan masa ada di rahimnya. Masa depan suatu generasi ada dalam didikannya. Perempuan yang shalihah akan selalu menjadi pendamping seorang pemimpin sekaligus akan menjadi ibu bagi seorang pemimpin.
Maka, jangan menjadi perempuan yang biasa – biasa saja.
Jadilah perempuan yang luar biasa!