Tetanggamu, Ngga Akan Baca Ijazahmu!

Baru beberapa minggu, menghirup udara kota. Tidak usah jauh – jauh, setidaknya mulai beradaptasi untuk berusaha mencintai oksigen kampung halaman. Ada banyak desas – desus yang terdengar. Omongan tetangga, terkadang lebih lantang didengar meskipun mereka berbicaranya bisik bisik, tanpa sahut – sahutan. Apalagi, jika memang jelas tahu kabar bahwa salah satu anak di kampungnya ada yang menjadi jebolan pesantren, atau salah satu universitas ternama. Yang menjadi suatu tantangan itu, memang saat berusaha untuk berbaur dengan masyarakat setempat, tidak cukup hanya sekedar menundukkan kepala saat berjalan sambil mengucap “nyuwun sewu” (baca: permisi). Tetapi juga harus beranjak untuk menguasai logat, bahasa dan dialek percakapan keseharian.

“Kalau mau lungguh (baca: duduk), ya harus tahu unggah – ungguh (baca: tata krama).” Kalimat ini selalu terngiang, saat menyaksikan ternyata memang banyak sekali yang harus terus dipelajari, bahkan diaplikasikan dalam ranah masyarakat. Meskipun pada halnya, sangat out of theory. Sama sekali, tidak pernah bisa disamakan, ajaran tata krama dan sopan santun; entah itu pada setiap individu, komunitas dan tentu masyarakat luas. Tantangan selanjutnya, kita harus tepat dan cerdas dalam meraba permasalahan dan cara yang tepat saat menyelesaikannya.

Alumni fresh graduate, atau ibarat ayam yang baru menetas dari cangkangnya juga masih harus bisa meraba – raba. Berusaha untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan. Tidak usah takut, dengan omongan tetangga yang harus meminta kita bagaimana. Omongan tetangga yang maunya ini, dan kampung sebelah maunya itu. Tapi, sebisa mungkin memang harus bisa menjadi air, yang bisa menyesuaikan wadahnya. Menjadi udara, yang akhirnya bisa menempati ruang dimana saja.

Begitulah, sebenarnya lumayan susah karena dulunya kami – kami ini jarang sekali pulang ke kampung halaman. Kalau pulang, paling sekitar 3 – 5 hari, mentok – mentok seminggu-an. Jadi, sangat kaget sekali. Kalau di masa seperti ini, akan ada banyak yang nimpali: Loh, kapan baliknya? Kok ngga pernah keliatan to Mbak?” atau kalau sudah lewat beberapa hari bulan Syawal “Kapan pulang lagi ke pondok?” Sejauh ini, setelah berminggu – minggu mencoba untuk berinteraksi, ada sekitar 10 sampai 15 manusia yang melontarkan. Lalu, jawaban yang ada? Kadang se-kenanya, atau juga kadang cuma berbalas senyum manis menawan.

Bertubi – tubi, kenyataan seperti ini sering kali dihadangkan. Kenyataannya, memang tidak seperti yang kita pelajari secara teoritis dalam buku atau matkul siang dan malam. Atau sekedar tugas dan pekerjaan harian. Sama sekali, semua itu hanya menumbuhkan mental. Dan, kita hanya berusaha untuk me-mekar-kan saat kita sudah menamatkan. Manusia, siapapun itu. Hanya lebih suka menikmati dan memetik keindahan bunga dan tanpa mau tahu bagaimana proses fotosintesa, atau proses penyerbukan, hingga akhirnya berbunga indah. Kadang, manusia manapun juga tidak akan mau dengar dan tahu segala sesuatu beyond the eyes.

Untuk bisa meyakinkan kepada masyarakat sekitar, tidak bisa proses yang dilakukan sangat instan. Atau hanya sekedar menyodorkan, memamerkan, menyadurkan, atau memperbanyak lembaran ijazah kita. Tetangga – tentangga terkadang tidak banyak perduli, entah kita ini tamatan sekolah mana, pesantren mana, atau universitas mana. Mau itu tamatan SD, SMP, atau jenjang karir apapun tidak akan pernah dibutuhkan kalau tidak ada real action kita di masyarakat. Dedikasi tertinggi, bukan hanya sekedar menyumbar milyaran untuk masjid kampung. Bukan hanya sekedar merayakan perayaan atau hajatan besar – besaran. Tapi juga harus faham dengan bukti kearifan kita dalam bermasyarakat, dan lagi – lagi tentang bersosial.

Ijazah kita yang sudah bertahun – tahun didapatkan, baiknya memang tidak hanya dijadikan untuk bukti bergengsi bahwa pernah sekolah tinggi. Tetangga kita tidak akan pernah mau tahu, mengerti dan apalagi membaca. Ijazah kita ini, ya kalau mau dibaca. Paling tidak, hanya dibaca oleh HRD perusahaan, atau Staf dari instansi kantoran saja. Kalau masih tidak mau untuk keluar rumah, menghirup udara segar kampung, minimal yaa ikut pengajian mingguan, atau rewang saat hajatan tetangga itu justru menambah banyak kenalan dan pengalaman.

Jadi, jangan pernah takut untuk ditanya apa – apa seperti ujian. Tidak akan pernah tanya, lulusan apa dan nilainya berapa. Kita hanya ditanya, bagaimana kamu bisa menengahi dan menyikapi persoalan masyarakat, tanpa teori tapi tentu dengan banyak ilmu dan pengalaman yang kita punya.    

 

Kontroversi Perihal “Good Looking” di Ranah Masyarakat

Padahal, menjadi good looking bukan hanya tentang paras wajah dan keindahan bentuk fisik dan cerahnya warna kulit. Jangan menyerah dulu ya, Kawan!

Kita tidak asing dengan kriteria yang menyebutkan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon karyawan atau pegawai. “Minimal good looking atau berpenampilan menarik.” Alih-alih, pada akhirnya orang yang tidak mencukupi kriteria itu menjadi putus asa dan mengeluh, sering kali kita temui di media sosial, tentang keluhan bahwa menyesali karena dirinya tidak mempunyai kelebihan itu. Padahal, sebenarnya perlu atau tidak kriteria ini harus dimiliki

Bukan hanya dalam ranah pekerjaan, hal ini sering kali kita temui di setiap lini kehidupan kita. Baik mereka yang memiliki penampilan yang menarik, baik itu paras wajah, kondisi fisik, gestur tubuh sangat mempengaruhi. Mereka yang memilikinya, acap kali dipandang lebih baik nasibnya, bisa dipertaruhkan, dan kehidupannya lebih menjamin, lebih didahulukan dan diutamakan. “Sekarang apa-apa mandang fisik, ya? Apalah daya wajahku pas-pasan begini?” Sering mendengar, atau bahkan kita adalah pelakunya.

Padahal, menjadi good looking bukan hanya tentang paras wajah dan keindahan bentuk fisik dan cerahnya warna kulit. Jangan menyerah dulu ya, Kawan!

Begini. Secara psikologi, menurut narasi yang dikutip dari jurnal Evolutionary Psychology, dikatakan bahwa ”Basically seeing something beautiful can make us happy and fresh again. This is because activities that seem to have no benefit, can improve memory and motivate yourself.” Atau pada dasarnya melihat sesuatu yang indah bisa membuat kita bahagia dan segar kembali. Ini karena aktivitas yang sepertinya tidak ada manfaatnya, dapat meningkatkan daya ingat dan memotivasi diri sendiri.” Saat seseorang melihat pemandangan atau sesuatu yang indah untuk dipandang, maka akan menambah efek bahwa seseorang bisa menyegarkan fikirannya kembali, menjernihkan fikirannya yang keruh, -walau di waktu yang singkat. Itulah sebab, mengapa mempunyai kriteria good looking sangat dibutuhkan dalam dunia pekerjaan, karena bisa meminimalisir sesaknya fikiran dan suasana dunia pekerjaan saat itu. Lalu, bagaimana nasib kita yang ditakdirkan tidak memiliki paras indah? Kita hanya menonton saja?

Tidak. Kita tidak patut untuk berkecil hati. Juga tidak pula putus asa atas takdir yang menjadi anugerah luar biasa. Walau good looking menjadi sebuah tuntutan, tidak berarti kita menjadi insecure dan putus asa. Good looking bukan hanya ditinjau dari indahnya wajah, kebagusan fisik, baju yang mahal, dan dandanan yang melirik mata. Salah satu bentuk manifestasi dari good looking sesungguhnya adalah good value dari seseorang tersebut. Adanya pilihan good looking sebenarnya adala suatu opsi yang ditawarkan untuk menilai seberapa sehatnya fisik seseorang. Karena dipastikan bahwa, orang yang berpenampilan baik, ia memiliki kondisi fisik yang baik, kemampuan berfikir dan nalar yang baik, akhlak dan adab yang baik. Walau, dari semua itu tidak bisa kita dapatkan saat pertama kali bertemu. Tetapi, seseorang berhak untuk punya penilaian di awal perjumpaan. Indah tutur kata, fikiran yang rasional, akhlak yang mulia memang tidak ditentukan dari penampilan. Ada banyak orang yang tampil dengan jas parlente tetapi akhlaknya di bawah rata-rata. Maka, perlu mengubah standar. Good looking bukanlah menjadi titik penting dalam penilaian seseorang. Good value lebih bisa diterima di masyarakat, di semua kalangan.

Berpenampilan menarik tidak hanya bisa dinilai dari paras wajah. Sesungguhnya keindahan terletak dari keserasian. Kesesuaian kita dalam berpakaian, dengan tempat dimana kita ada, dengan siapa yang kita temui, dengan topik apa yang akan dibahas. Seharusnya, kita bisa lebih dewasa dan mengerti tentang hal itu, dan mulai membiasakannya. Saat kita bisa  mulai membedakan dan menyesuaikan, siapapun dan dimanapun kita berada akan lebih bisa menerima dan menghargai keberadaan kita. Karena, ada banyak orang yang berpenampilan menarik, tampan dan cantik, tetapi acap kali tidak dihargai karena tidak mempunyai karakter yang baik, keserasiannya dengan pakaian yang ia kenakan. Kalau seseorang kehilangan uang, sebenarnya ia tidak kehilangan apapun. Karena uang bisa didapatkan dengan mudah, hari ini. Kalau seseorang kehilangan kesehatan, ia bisa saja kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup. Tapi, jika seseorang kehilangan karakter dalam dirinya. Ia kehilangan segalanya.  

Tidak Akan Sia – Sia

Sejak beberapa tahun lalu, aku tak pernah tahu, mengapa dahulu aku mempelajari. Aku hanya membaca, menulis, menghafal apa yang diujikan saja. Tanpa tahu, apa maksud dari apa yang kumengerti. Hanya sekadar memenuhi standar kelulusan, lalu bersikap jumawa jika punya nilai unggul saat yudisium kenaikan.

Aku juga sering kali tampil di atas podium untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Menggelorakan api di hadapan khalayak agar selalu bersemangat dalam menjalani peliknya hidup, tentang cobaan yang tak berkesudahan. Bijak sekali, rupanya.

Lain kisah. Banyak pula, adik dan anak didik meminta petuah dan nasehat akan pengalaman yang pernah diemban sepersekian zaman. Terkadang, sesenggukan menangis, ingin sekali dipeluk, dibelai manja. Ada pula yang menganggap bahwa dunia seakan berhenti, saat dirundung mendung masalah. Aku, sesekali menenangkan dan menyenangkannya. Entah, naluri apa yang pernah kuterima sebagai fitrah Tuhan?

Masalah yang amat pedih kulalui. Meronta – ronta, meminta – minta, suka, luka dan duka, muka tak pernah bisa berekspresi dengan kondisi yang sama. Ternyata, kini aku berhasil juga mengisahkan setahun perjalanan hidup dalam selang waktu satu jam saja, atau mungkin dalam bait bait dan larik puisi singkat. Padahal, dahulu aku mengurai kata dengan air mata. Lucunya, kini aku membacanya dengan penuh gelak tawa.

Menyadari, selama belasan tahun hidup ditempa, dicerca, dicecar, dibimbing dan dibina? Masih belum seberapa. Apa yang kulalui di masa lalu, memang tak pernah sederhana. Juga menjadi bekal untuk masa depan, masih belum cukup untuk menjadi pedoman tepat. Karena, bukan hanya ujian tulis yang dihadapi di masa depan. Akan ada fase dan masa, dimana setiap gerak gerik, ucap, nafas dan rasa akan ditentukan sebagai pahala atau dosa. Salah dalam pilihan, bisa jadi akan terjerumus dalam jurang nista dan karma. Kalaulah tahu, mana yang diridhoi oleh Tuhan, pastilah surga yang menjadi balasan.

Begini juga. Masa depan yang tidak pernah bisa diramal, meski dilacak keberadaannya oleh paranormal. Kalau tak pernah tahu pasti yang terjadi di masa depan. Tak usahlah sok tahu, perihal takdir hidup dan kematian. Mengapa juga, masih ingin tahu, padahal Tuhan bilang untuk memaksimalkan hari ini untuk masa depan. Tapi, sayang. Terkadang, kita masih saja suka menerka – nerka, lalu jika tak sesuai dengan harap dan pinta. Hanya merasa menjadi orang yang paling menderita sepanjang abad. Padahal, tahu apa urusan nikmat dan ujian?

Apa yang lalu, bukanlah lantas menjadi hal yang akan berlalu. Sudahkah kita memaknai apa arti dalam setiap ujian. Apakah kita berusaha menjawabnya dengan penuh keyakinan? Apakah selama ini, kita sudah mempersiapkan sebaik baiknya pilihan, lalu menyerahkan dalam kondisi yang paling sempurna di hadapan Tuhan? Atau barangkali, kita pernah ogah – ogahan, malas untuk menerima ujian dan cobaan, lalu kerap meminta usai dalam penderitaan.

Untuk apa, jika kita pernah diberi selang waktu untuk belajar? Dan kita hanya merasa gagal dan tidak punya harapan. Bukankah tentang waktu, masa, usia dan usaha, barangkali, memang kita menyia nyiakan? Alangkah malang, duhai Sayang?

Semua yang tercipta, hanyalah sebuah fana. Baik manusia dan apa yang menjadi piranti dalam hidupnya. Apapun yang fana, akan hilang, akan rusak, akan musnah. Tapi, ada satu cara agar semua itu tak jadi hilang. Berusahalah untuk tak menyia-nyiakan kesempatan yang tercipta.

Kesempatan untuk mengemban hidup untuk mengabdi, punya masa yang berbeda beda, dan yang mengetahui seberapa banyak waktu dilalui, hanyalah seorang diri dan Maha Pencipta.

Apa yang kita pelajari, ucapkan, sampaikan, nasehatkan, bacakan, hafalkan, tuliskan dan segala tindak dan tanduk, tingkah dan langkah. Janganlah sampai menjadi sia sia dan terbuang nirfaedah di masa depan. Amalkan yang baik, jangan buang yang buruk, justru perbaikilah. Hanya mencoba untuk berusaha, agar apa yang sampai dan terpancar dalam diri kita, bukanlah keburukan yang orang lain temukan, lalu kemudian mereka dengan tak sengaja menyimpan, lalu kita menyesatkan.

Kita, masih diberi kuota untuk berusaha menjadi sebaik baiknya ciptaan di hadapan-Nya. Jadi, jangan benamkan diri dalam kekerdilan. Belajarlah untuk menggapai surga tertinggi dengan ridho Allah sebagai tujuan. Apa yang menjadi pelajaran dan ujian di masa lalumu, semoga menjadi bekal dan amal di masa yang akan datang.