Begitu pesan guruku, saat itu. Masih sangat teringat jelas, sebelum membekukan diri, sibuk berintrospeksi.
Padahal, sesungguhnya, pokok dari kesalahannya sama. Salah kata, salah ucap, salah arti salah makna. Aku acap kali berusaha untuk menyuarakan pendapat, apa yang berada dalam benak, pertanyaan-pertanyaan bodoh, yang sebenernya kurasakan bahwa itu murni dari ketidaktahuanku. Tapi malah berujung pembodohan bagi diriku. Sangat bias, bukan ingin mengelak atas kebodohan yang kurasakan hari ini. Tapi, musuh terbesar dan tersebar dalam diri hari ini adalah rasa sok ingin tahu dan sok pandai dengan apa yang disampaikan orang lain. Bukankah itu adalah informasi penting, yang sebaiknya didengarkan dahulu, diterima, dicerna baik-baik dengan tepat dan cermat, kemudian jika memang ada yang mengganjal dalam keyakinan yang genap. Sampaikan dengan cara yang tepat, dengan data yang lengkap. Jika tak dapat membuktikan, diamlah sebentar. Belajarlah tentang banyak hal. Tidak semua, tentang apa yang tidak kamu tahu, ataupun tidak kamu setuju itu harus dibantah, kan?
Nahasnya, ternyata tidak seperti apa yang dibayangkan. Aku berusaha untuk tetap mencoba menjawab dengan keyakinanku yang tidak utuh, mencapai setengah saja belum sampai, apalagi seutuhnya. Jadi, yang kubicarakan, kujelaskan, kusampaikan pada orang lain tentu tidak lengkap. Kemudian, itulah yang menjadi kesesatan yang nyata, bagi siapa yang melahapnya mentah-mentah tanpa memasaknya. Kesalahan berfikir ini sangat menjadi kerancuan dalam berargumen, beropini dan berpendapat. Pada akhirnya, informasi yang terekam dalam benak ini bukan menjadi suatu ilmu dan juga menjadi pelampung bagi yang telah tenggelam di dalam lautan diskusi yang menghanyutkan. Justru menjadi petaka, dan ombak besar. Bahaya, bagi yang tak memiliki lisensi ahli berenang yang handal.
Kesalahan dalam ucapan, memag banyak berujung sebuah nista. Sebenarnya, bukan ucapan yang menjadi masalah. Kata bisa dirangkai, kalimat bisa disisipkan peribahasa manis yang berurai. Tapi, kerancuan saat berfikir, menentukan apa yang dimaksud, menyampaikan apa yang tebersit dengan ungkapan yang tepat. Tidak bisa harus disamakan dengan menyuapkan sesendok nasi kepada mulut yang siap menganga. Keduanya, memang sama-sama dicerna. Makanan dan ucapan tentulah berbeda pencernaannya. Kerancuan dalam berfikir, kesesatan niat yang tertanam, mengakar begitu dalam, bukanlah sekali dua kali terbukti dengan kesalahan. Tapi puluhan bahkan ratusan kali memupuknya, hingga subur tumbuh dan menyebar, ikut menyuburkan tanaman di sekitar. Jika pupuk yang diserap adalah sumber racun. Bukankah tanaman yang ikut mencernanya juga akan menjadi racun, menjadi penyakit, lalu orang yang memanfaatkannya akan sakit bersama? Itulah yang menjadi kekhawatiran yang harus selalu direnungkan!
Kesalahan seseorang dalam berucap, masih bisa disembuhkan jika prinsip yang tertancap adalah kebenaran, tanpa keraguan. Lain hal, jika memang seseorang sudah tenggelam dalam keruhnya cara berfikir. Akan susah diperbaiki, diobati, diajari. Karena memang sangat keruh, bahkan untuk menemukan kejernihan hati harus menunggu endapan sekian lama. Tak apa, jika memang itu menyadarkan dan kembali menyucikan hidupnya.
Jika memang kamu berada di titik ini. Jangan tunggu sampai kamu harus jatuh di titik nol, lalu menunggu kembali ada yang menarik tanganmu kelak. Ya, jika memang ada, tidak apa. Kalau sungguhan tidak ada manusia? Juga jangan putus harapan dan asa. Ada Allah yang punya milyaran tangan yang menarik, merangkul, memeluk, mengelus, menyeka air mata. Bacalah ayat-ayatNya tanpa keraguan itu. Kmebalilah dengan proses terbaik dengan petunjuk di dalamnya. Salahnya ucap, salah ungkap, salah maksud, salah urut, masih sangat bisa diperbaiki, jika keyakinan itu hadir. Jangan takut tertinggal dan terputus dari rahmat-rahmatNya. Jua, jangan lupa. Jika perlahan menyadari, pelajari apa yang telah kamu lalui dengan sebaik-baiknya notasi yang kamu rangkum, hanya kamu yang tahu. Semangat, ya!
Salaamatul insaani fii hifzhil lisaani
Keselamatan manusia itu dalam menjaga lidahnya (perkataannya)