Bukan Salah Ucap! Kamu Salah Berfikir!

Begitu pesan guruku, saat itu. Masih sangat teringat jelas, sebelum membekukan diri, sibuk berintrospeksi.

Padahal, sesungguhnya, pokok dari kesalahannya sama. Salah kata, salah ucap, salah arti salah makna. Aku acap kali berusaha untuk menyuarakan pendapat, apa yang berada dalam benak, pertanyaan-pertanyaan bodoh, yang sebenernya kurasakan bahwa itu murni dari ketidaktahuanku. Tapi malah berujung pembodohan bagi diriku. Sangat bias, bukan ingin mengelak atas kebodohan yang kurasakan hari ini. Tapi, musuh terbesar dan tersebar dalam diri hari ini adalah rasa sok ingin tahu dan sok pandai dengan apa yang disampaikan orang lain. Bukankah itu adalah informasi penting, yang sebaiknya didengarkan dahulu, diterima, dicerna baik-baik dengan tepat dan cermat, kemudian jika memang ada yang mengganjal dalam keyakinan yang genap. Sampaikan dengan cara yang tepat, dengan data yang lengkap. Jika tak dapat membuktikan, diamlah sebentar. Belajarlah tentang banyak hal. Tidak semua, tentang apa yang tidak kamu tahu, ataupun tidak kamu setuju itu harus dibantah, kan?

Nahasnya, ternyata tidak seperti apa yang dibayangkan. Aku berusaha untuk tetap mencoba menjawab dengan keyakinanku yang tidak utuh, mencapai setengah saja belum sampai, apalagi seutuhnya. Jadi, yang kubicarakan, kujelaskan, kusampaikan pada orang lain tentu tidak lengkap. Kemudian, itulah yang menjadi kesesatan yang nyata, bagi siapa yang melahapnya mentah-mentah tanpa memasaknya. Kesalahan berfikir ini sangat menjadi kerancuan dalam berargumen, beropini dan berpendapat. Pada akhirnya, informasi yang terekam dalam benak ini bukan menjadi suatu ilmu dan juga menjadi pelampung bagi yang telah tenggelam di dalam lautan diskusi yang menghanyutkan. Justru menjadi petaka, dan ombak besar. Bahaya, bagi yang tak memiliki lisensi ahli berenang yang handal.

Kesalahan dalam ucapan, memag banyak berujung sebuah nista. Sebenarnya, bukan ucapan yang menjadi masalah. Kata bisa dirangkai, kalimat bisa disisipkan peribahasa manis yang berurai. Tapi, kerancuan saat berfikir, menentukan apa yang dimaksud, menyampaikan apa yang tebersit dengan ungkapan yang tepat. Tidak bisa harus disamakan dengan menyuapkan sesendok nasi kepada mulut yang siap menganga. Keduanya, memang sama-sama dicerna. Makanan dan ucapan tentulah berbeda pencernaannya. Kerancuan dalam berfikir, kesesatan niat yang tertanam, mengakar begitu dalam, bukanlah sekali dua kali terbukti dengan kesalahan. Tapi puluhan bahkan ratusan kali memupuknya, hingga subur tumbuh dan menyebar, ikut menyuburkan tanaman di sekitar. Jika pupuk yang diserap adalah sumber racun. Bukankah tanaman yang ikut mencernanya juga akan menjadi racun, menjadi penyakit, lalu orang yang memanfaatkannya akan sakit bersama? Itulah yang menjadi kekhawatiran yang harus selalu direnungkan!

Kesalahan seseorang dalam berucap, masih bisa disembuhkan jika prinsip yang tertancap adalah kebenaran, tanpa keraguan. Lain hal, jika memang seseorang sudah tenggelam dalam keruhnya cara berfikir. Akan susah diperbaiki, diobati, diajari. Karena memang sangat keruh, bahkan untuk menemukan kejernihan hati harus menunggu endapan sekian lama. Tak apa, jika memang itu menyadarkan dan kembali menyucikan hidupnya.

Jika memang kamu berada di titik ini. Jangan tunggu sampai kamu harus jatuh di titik nol, lalu menunggu kembali ada yang menarik tanganmu kelak. Ya, jika memang ada, tidak apa. Kalau sungguhan tidak ada manusia? Juga jangan putus harapan dan asa. Ada Allah yang punya milyaran tangan yang menarik, merangkul, memeluk, mengelus, menyeka air mata. Bacalah ayat-ayatNya tanpa keraguan itu. Kmebalilah dengan proses terbaik dengan petunjuk di dalamnya. Salahnya ucap, salah ungkap, salah maksud, salah urut, masih sangat bisa diperbaiki, jika keyakinan itu hadir. Jangan takut tertinggal dan terputus dari rahmat-rahmatNya. Jua, jangan lupa. Jika perlahan menyadari, pelajari apa yang telah kamu lalui dengan sebaik-baiknya notasi yang kamu rangkum, hanya kamu yang tahu. Semangat, ya!

Salaamatul insaani fii hifzhil lisaani
Keselamatan manusia itu dalam menjaga lidahnya (perkataannya)

Kembali Berbuah

Sekian warsa, merantau ke ujung kota. Dari yang tak pernah terduga, memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran, tidaklah cukup mampu menahan rasa rindu yang akan dirasakan bertahun-tahun lama. Bukan ingin untuk meninggalkan sanak saudara, jauh pergi. Ini adalah angan untuk terbang bersama doa-doa yang selama ini terpanjat siang dan malam. Pamit pada Ayah dan Ibu, untuk kemudian didoakan. Tak tahan, menahan isak. Air mata, rasanya malu-malu untuk terjun deras, tapi lingkar senyum menahannya. Begitu tabah dan kuat untuk melepas, menitipkan kepada Allah atas semua pinta dalam doa tahajjud, sepertiga malam.

Pulang dari ujung kota, lalu kembali pada rumah, yang diharap-harapkan saat menimba ilmu. Tak cukup hanya berbekal ilmu kering dalam kitab-kitab kuning. Membaca berjuta-juta garis dalam kitab terasa mudah. Tapi untuk mengajarkan, untuk mempraktikkan, untuk menuliskan, rasanya tidak cukup sekian warsa lamanya. Apa ternyata, dahulu masih sebentar untuk belajar?

Penuh tekad, penuh kesucian dan kemurnian hati untuk mau mengajar setalah belajar. Orang-orang baru yang ditemui, tak pernah sama dengan apa yang dipelajari. Hebat sekali, guru-guru yang dahulu baru mengenal kami. Kenal dengan kami saja, sebelumnya tidak. Tapi, setelah banyak meraup ilmu ilmu dan menadah doa darinya, kami jatuh hati, bahkan tidak ingin ditinggal pergi. Lalu, sekarang. Adalah giliran kami yang harus berdiri.

Pelajaran mengenal murid, tidak bisa disamakan dengan mengenal karakter atau tokoh fiktif yang dibuat dalam sebuah alur film dan cerita. Para penyair dan novelis, memang sering kali terinspirasi dari sifat dan watak dalam dunia nyata. Tapi, itu hanya transliterasi makna pada suatu momen saja. Tidak setiap saat dan waktu bisa menyamakan kisah setiap harinya. Satu murid yang ditemui, jika harus dipelajari. Haruslah membaca lebih dari puluhan buku untuk bisa benar-benar mengenali. Tapi, rasanya tidak perlu menghabiskan waktu untuk membaca buku demi mengenal betul karakternya. Tak perlu membaca, duduklah, jadilah bagian dari hidupnya, dan jadikanlah ia sebagai bagaian cerita dalam buku kehidupan kita.

Akan ada banyak hal yang kembali teringat, saat hati benar-benar murni ingin dipenuhi ilmu yang baru didapat. Kalau memang, merasa kurang tahu, pastilah ingin untuk belajar dan menempa diri. Lalu, bagaimana jika memang diri masih kurang dan harus mengajarkan lagi? Bukannya ilmu ini masih harus ditambah lagi?

Janganlah risau, karena ilmumu tak sampai. Dengan tulus, orang yang mau mengajar, akan dilipatgandakan keberkahan, akan dilipatgandakan kekayaan. Ya, kaya hati, kaya ilmu, kaya iman, kaya amal, kaya jasa, kaya kehormatan, kaya teman, dan kaya-kaya lainnya. Lalu mengapa tak mau menjadi kaya, hanya karena merasa tak mampu untuk mengajarkan? Ajarkanlah, lalu kau justru banyak mendapatkan ilmu yang kau ajarkan.

Allah tak akan membiarkanmu sendiri dalam kefanaan dan kenistaan. Tetaplah beriman, percaya bahwa biji-biji yang kau tanam hari ini, akan berbuah di hari akhir kelak. Kau mau mengajar setitik, maka akan lahir ilmu yang kau ketik hari ini. Kembalilah, atas nama ilmu yang Allah beri untuk kau ajarkan kembali. Tetaplah beriman, bahwa ilmu yang kau ajarkan hari ini, tak akan pernah berkurang, justru bertambah dan melimpah ruah atas embun keikhlasan yang menyiramkan pada akar aqidahmu yang kuat hari ini.

Sekian warsa, waktu yang tidaklah sempit. Maka luaskanlah, semua tentang makrifatmu dengan kembali mendengarkan, kembali menuliskan, kembali mengajarkan, dan kembalikanlah dirimu pada Tuhan. Masih ada banyak ilmu yang harus kau tanam, pada setiap benih-benih kehidupan anak cucumu kelak. Tumbuhlah subur, pada setiap keberkahan.

Al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy syajari bilaa tsamarin
Ilmu tanpa pengamalan bagaikan pohon tak berbuah.

Nyawa Yang Sekali

Hari ini, aku baru saja mengecek notifikasi. Aku merindukannya. Tapi, entah apakah ia yang kurindukan juga punya keterikatan dan keterkaitan batin yang sama? Hingga akhirnya bisa sama sama saling mendoakan. Harapanku sangat tipis sekali. Bahkan, nyaris tidak mungkin. Karena aku tak punya hak untuk bisa memastikan. Biarlah aku yang masih mendoakan. Lalu dengannya, aku pura pura tidak tahu, agar aku menjadi lebih tenang dan tak berfikir keras memaksakan kehendak.

Hari ini, juga bahagia. Karena tak sengaja muncul namanya di deretan penonton cerita Instagram. Betapa tak bungah? Berminggu – minggu aku pernah stalking akun-nya. Tapi apalah penting arti stalking bagi mereka yang tidak berani talking.

Hari ini juga, aku sengaja mengetik namanya di pencarian Google. Semoga ada kabar baik dan perkembangan tentang diri. Awalnya, aku hanya mencari jejak digitalku saja. Tapi, ternyata. Lemah juga diriku, tak tahan merindu lalu mengetik namanya. Kabar baik.

Tak seberapa penting, aku membaca berita tentangnya. Tapi, membaca namanya di kabar harian, baru saja meraih kesempatan emas untuk bisa berkarir dan melesat jauh dengan prestasinya. Kesempatan emas untuk bisa lebih menjadi orang yang bermanfaat, kesempatan emas untuk bisa terjun ke dunia yang menjadi bagian dalam mimpinya. Barangkali, beberapa bulan sejak kepergiannya kemarin adalah keputusan paling matang untuk kembali menjejakkan kaki, membuka jendela, keluar dari tempurung dunianya, lalu membangun fondasi kuat untuk fokus mencapai determinasi terbaiknya.

Kesempatan terbaik, menjadi bintang. Bagiku, kau tetaplah purnama paling terang. Bintang bintang, tak akan pernah jauh dari bulan. Benderangnya selalu menjadi penerang, dan aku menganggap bahwa cahyamu bersinar bisa menjadi lebih terang dan denyarnya tak pernah menyakitkan mata yang membutuhkan.

Berusahalah lebih keras lagi, lebih hebat lagi, lebih mantap lagi. Langkahmu hari ini, tak akan pernah sia – sia. Jika memang pernah tertinggal, karena kau harus kembali mengulang langkah, bahkan kini harus lebih berlari, lebih cepat, lebih kilat, dan yang lain merangkak. Tetaplah kuat! Tiket ini tak akan pernah tertukar dengan emas dan perak. Pelajaran yang tak dapat terulang sekali dua kali. Pilihannya, jika memang mau mencoba; bisa jadi lebih baik, atau barangkali akan jatuh terjungkal gagal. Maka, ambillah langkah yang tepat untuk sebuah jalan yang panjang.

Seorang manusia, hanya punya nyawa sekali dalam hidup. Jangan takut mati, lalu dengan setengah hati menjalani hidup sia sia tiada arti. Jangan takut menjalani hidup. Karena harus takut gagal, jatuh, ringkih, terkilir, lalu tak jua bangkit. Tenanglah, berjuanglah. Jika sakit, ada aku yang akan mengobati. Jika harus gagal, pilihan mana yang lebih kau terima? Menyesal karena gagal mencoba? Atau memang menyesal karena tak mau lagi mencoba?

Berjuanglah, sepenuh hati. Bahagialah hidup dan mati. Kesempatan emas ini tak akan pernah terulang lagi, begitu pula dengan waktu tak akan pernah kembali. Lalu, jika memang harus menyiakanku pergi, sendiri. Bahkan aku tak akan pernah sama dan memeluk doa untukmu lagi.

Lan tarji’al ayyamul latii madhat

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu.

Sekolah Pertama

Hampir setiap nafas, Ibuku sebagai sekolah pertamaku mengenalkanku tentang dunia. Ibu berpesan, “bahwa dunia memang harus bisa kau genggam. Tapi, jangan lupa ada akhirat yang harus pegang erat.”

image

Huruf demi huruf, menjadi kata lalu dirangkai menjadi kalimat. Aku lancar berbicara. Membaca dan menulis, bukan hanya tentang alfabet dan angka. Tapi juga hijaiyah yang akan menjadi password menuju Syurga. Bagaimana jika aku tak bisa lolos menuju akhirat-Nya. Jika aku tak pandai berdoa pada Rabbana?

Sejak membuka netra, melihat ragam rupa dan warna. Ibu tak pernah bosan mengajak berbicara dan bertanya. Juga tak bosan mendengarku cerita yang tak penting untuk diuraikan. Tapi, ucapan ucapan yang begitu indah dilontarkannya, seakan menjadi doa dan nina bobo termerdu untuk didengar. Tak jemu, ibu menjelaskan dan kembali mengajarkan tentang apa yang kuingin tahu, sekali dua kali bertanya. Ibu tak pernah membentak. Dengan sabar, akan kembali menjelaskan.

Jika memang harus marah, karena aku tak jua mengerti. Tak faham dengan apa yang dikatakan. Ibu selalu membelai hangat, lalu meminta maaf. Karena Ibu tahu, aku tak akan pernah menjadi bodoh, jika aku mau mendengarkan lamat lamat kemudian. Lalu, kembali mengeja setiap faham dan makna, diiringi doa yang selalu dipanjatkan sebelum mengucapkan.

Pernah, suatu hari aku bertanya? “Dzikir khusus apa yang engkau dawamkan saat mengajarkanku, wahai Ibu?” Lalu, Ibu hanya tersenyum manis, menjadi sebuah jawaban. “Tidak ada, semua doa yang kulantunkan adalah doa doa kebaikan untukmu, anak anakku. Bukankah Allah Maha Mengetahui dan Maha Memahamkan kepada setiap hamba-Nya?” Ibu selalu mengatakan, bahwa Allah selalu memberi petunjuk bagi hamba-Nya yang berada dalam kesesatan. Wawajadaka dhlaallan, fahadaa; Allah menemukanmu dalam keadaan tersesat, lalu Dia memberikanmu petunjuk.

Jadi, ketika saat ini semua orang menanyakan tentang resep dan rumus terbaikku saat belajar? Aku tak pernah punya apa apa untuk bisa kubagikan. Aku hanya menyarankan untuk bertanya pada Ibuku. Bahkan Ibuku sendiri, sebenarnya selalu jujur, bahwa tak pernah ada kurikulum yang disusun untuk bisa menjadikan anak – anaknya sempurna dan mencapai keberhasilan seperti saat ini. Ibu tak pernah membuat suatu program tertulis untuk bisa mendidik, membimbing, mengajar dan bisa menemaniku hingga tumbuh kembangku saat ini. Ibu hanya bilang, Ibu tak pernah berhenti meminta petunjuk dan berdoa kepada Allah, agar selalu diberi karunia terbaik dalam hidup, dan itu dengan wujud anak anak shalih dan shalihah kelak, dan akhirnya selalu bisa menjadi amalan yang tak pernah terputus di akhirat.

Ibu, memang selamanya menjadi sekolah pertama. Ibu memang tak pernah duduk di bangku perkuliahan seperti anak anaknya saat ini, tak pernah bergelar sarjana, dokter, profesor, ataupun gelar terbaik yang dimiliki akademisi lain. Tapi ilmu yang diajarkan, dialirkan adalah ilmu yang tak akan pernah bisa digantikan posisinya meski oleh profesor atau guru besar lainnya.

Ibu tak hanya membangun sekolah dasar, menengah dan universitas seperti yang pernah kuhabiskan masa untuk menuntut ilmu di dalamnya. Ibu, membangun universitas kehidupan sejak lahir dan akan menjadi pedoman di masa depan. Bukan kitab, jurnal, tesis, disertasi yang menjadi materi pelajaran dan kuliah. Ibu hanya berpegang Al Quran dan Sunnah untuk diajarkan pada anak anaknya. Memang bukan hanya kamu menjadi apa dan siapa di masa yang akan datang. Tetapi, Ibu selalu mengajarkan untuk selalu kembalilah pada Tuhanmu, hormatilah Abah dan Ibumu. Itu jauh lebih hebat dari titel yang kamu sandang meski Abah dan Ibu tak bisa menyaksikanmu di masa depan.

Terima Kasih, Abah dan Ibu.

Abah, yang selalu melindungi, mendekap dengan kasih sayang yang sangat lengkap. Ibu, yang selalu menjadi sumber dan pusat dari segala sesuatu yang ada di dunia yang kian berputar.

Jagalah kedua orang tua kami. Orang yang kini berada di sekitar kita, boleh menjauh dan tak lagi ingin bersama. Tapi jangan orang tua kita. Nanti dunia berhenti berputar.

Al-‘ilmu fish shighari kan naqsyi ‘alal hajari
Ilmu pengetahuan di waktu kecil itu, bagaikan ukiran di atas batu.

Apa Bedanya Kamu Dengan Monyet?

Mereka makan, mereka bersenang senang, mereka memuaskan nafsunya, mereka bersama kerabatnya dan juga sahabatnya? Terkadang iri, rebut makan sana – sini, juga kemudian tidur bergelimpangan sana sini. Mereka saling bergelayut dari pohon ke pohon lain, hanya untuk mendapatkan sepotong buah hasil curian, kemudian duduk di tempat paling nyaman. Kalau perutnya kenyang, tinggal buang sisa yang tak dimakan, lalu mencari kesenangan yang ia suka. Tak peduli, Monyet memang suka saja berulah. Bahkan katanya, menjadi hewan yang mengasyikkan untuk dipamerkan dan dipertontonkan layak sirkus, menjadi hiburan bagi siapapun yang ingin terhibur hatinya.

image

Terkadang, Monyet juga kerap egois. Tidak ingin berbagi dan peduli dengan saudaranya sendiri. Mementingkan dirinya sendiri, jika lapar, mencari asupan, lalu mengamankan diri dari kerumunan, bisa jadi rela untuk berkelahi, hanya untuk rebutan, tarik tarikan jajan. Monyet, lebih suka untuk mementingkan dirinya sendiri. Juga jarang untuk bersimpati, bahkan berempati dengan saudaranya sendiri. Namanya juga Monyet?

Lalu, apa bedanya denganmu?

Kamu juga makan, kamu juga minum, kamu suka sekali melampiaskan hawa nafsu, suka rebutan hal sepele, diperdebatkan sana-sini, padahal bukannya masih ada yang lebih penting lagi? Kamu suka bergerombol dengan sebangsamu yang juga membuat fikiran dan hatimu semakin sempit, lalu menganggap dunia hanya selebar daun kelor, tidak peduli bahwa dunia masih sangat luas untuk dikunjungi dan banyak jalan dilewati. Kamu justru menetap dan berlari di tempat, karena menganggap orang yang ada di dekatmu adalah orang yang paling perhatian dan punya nasib yang sama sepertimu.

Tidak! Katakan sekali lagi, kami bukan Monyet.

Kami bukan cucu dan cicit Monyet. Akal-lah yang membuat kami berbeda dengannya. Akal yang menjadi pembeda antara haq dan kebathilan, antara baik dan buruk, salah dan benar. Akal yang mengajarkan untuk menunjukkan jalan yang terang. Akal yang mengisyaratkan hati, lalu hati yang mengarahkan untuk kembali pada fitrah seorang insan. Setiap makhluk Allah dikaruniai otak di dalam kepalanya. Tapi, tidak semua bisa memiliki akal. Karena akal, bukan hanya di dalam otak, tapi juga berada dalam hatinya. Ilmu-lah yang membedakan antara hewan dan manusia. Tanpa ilmu, manusia tak mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak tahu apa yang dibicarakan. Jelas terlihat, mana manusia yang berilmu, mana yang tidak. Bagaimana bersikap, bagaimana bertindak, bagaimana berbicara.

Jadi, jika hanya mengandalkan otak untuk berfikir, tanpa didasari kecerdasan akal fikiran dan kesucian hati dalam berakal. Maka, tidak akan pernah bisa menemukan titik terang jalan untuk pembeda, dan hanya sibuk memperdebatkan, lalu ya saling beradu otak bahkan otot untuk sebuah pendapat.

Sama halnya dengan Monyet. Bukannya hanya suka berebut hanya karena perut kelaparan? Bukannya bertengkar hanya karena tempat tidur diggeser dan digusur saudaranya? Bukannya kerjaan setelah bangun tidur, lalu hanya sekadar mencari makanan, lalu dimakan sendirian? Ah, tapi tak selamanya begitu. Monyet yang kita anggap begitu saja, mereka masih punya perasaan. Masih bisa memberi kasih sayang kepada anak istrinya? Masih bisa saling berbagi dengan saudara – saudaranya. Tanpa ilmu, apa yang dilakukan, apa yang dibicarakan tidak pernah sama dengan akalnya, bahkan lika-liku-laku juga tak akan pernah bisa dibedakan dengan Monyet atau sebangsanya. Bukannya Monyet juga suka teriak sana sini, hanya karena melihat sesuatu membuat takjub dirinya?

Lalu, jika manusia lebih buruk dan parah dari Monyet? Hewan apalagi yang cocok untuk bisa menyamai dengan dirinya? Apakah masih tidak ingin untuk kembali pada dasar ilmu dan akal yang menjadi fitrah bagi kita semua?

Laulal ‘ilmu lakaanan naasu kal bahaa-imi
Seandainya tiada berilmu niscaya manusia itu seperti binatang.