Mereka makan, mereka bersenang senang, mereka memuaskan nafsunya, mereka bersama kerabatnya dan juga sahabatnya? Terkadang iri, rebut makan sana – sini, juga kemudian tidur bergelimpangan sana sini. Mereka saling bergelayut dari pohon ke pohon lain, hanya untuk mendapatkan sepotong buah hasil curian, kemudian duduk di tempat paling nyaman. Kalau perutnya kenyang, tinggal buang sisa yang tak dimakan, lalu mencari kesenangan yang ia suka. Tak peduli, Monyet memang suka saja berulah. Bahkan katanya, menjadi hewan yang mengasyikkan untuk dipamerkan dan dipertontonkan layak sirkus, menjadi hiburan bagi siapapun yang ingin terhibur hatinya.

image

Terkadang, Monyet juga kerap egois. Tidak ingin berbagi dan peduli dengan saudaranya sendiri. Mementingkan dirinya sendiri, jika lapar, mencari asupan, lalu mengamankan diri dari kerumunan, bisa jadi rela untuk berkelahi, hanya untuk rebutan, tarik tarikan jajan. Monyet, lebih suka untuk mementingkan dirinya sendiri. Juga jarang untuk bersimpati, bahkan berempati dengan saudaranya sendiri. Namanya juga Monyet?

Lalu, apa bedanya denganmu?

Kamu juga makan, kamu juga minum, kamu suka sekali melampiaskan hawa nafsu, suka rebutan hal sepele, diperdebatkan sana-sini, padahal bukannya masih ada yang lebih penting lagi? Kamu suka bergerombol dengan sebangsamu yang juga membuat fikiran dan hatimu semakin sempit, lalu menganggap dunia hanya selebar daun kelor, tidak peduli bahwa dunia masih sangat luas untuk dikunjungi dan banyak jalan dilewati. Kamu justru menetap dan berlari di tempat, karena menganggap orang yang ada di dekatmu adalah orang yang paling perhatian dan punya nasib yang sama sepertimu.

Tidak! Katakan sekali lagi, kami bukan Monyet.

Kami bukan cucu dan cicit Monyet. Akal-lah yang membuat kami berbeda dengannya. Akal yang menjadi pembeda antara haq dan kebathilan, antara baik dan buruk, salah dan benar. Akal yang mengajarkan untuk menunjukkan jalan yang terang. Akal yang mengisyaratkan hati, lalu hati yang mengarahkan untuk kembali pada fitrah seorang insan. Setiap makhluk Allah dikaruniai otak di dalam kepalanya. Tapi, tidak semua bisa memiliki akal. Karena akal, bukan hanya di dalam otak, tapi juga berada dalam hatinya. Ilmu-lah yang membedakan antara hewan dan manusia. Tanpa ilmu, manusia tak mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak tahu apa yang dibicarakan. Jelas terlihat, mana manusia yang berilmu, mana yang tidak. Bagaimana bersikap, bagaimana bertindak, bagaimana berbicara.

Jadi, jika hanya mengandalkan otak untuk berfikir, tanpa didasari kecerdasan akal fikiran dan kesucian hati dalam berakal. Maka, tidak akan pernah bisa menemukan titik terang jalan untuk pembeda, dan hanya sibuk memperdebatkan, lalu ya saling beradu otak bahkan otot untuk sebuah pendapat.

Sama halnya dengan Monyet. Bukannya hanya suka berebut hanya karena perut kelaparan? Bukannya bertengkar hanya karena tempat tidur diggeser dan digusur saudaranya? Bukannya kerjaan setelah bangun tidur, lalu hanya sekadar mencari makanan, lalu dimakan sendirian? Ah, tapi tak selamanya begitu. Monyet yang kita anggap begitu saja, mereka masih punya perasaan. Masih bisa memberi kasih sayang kepada anak istrinya? Masih bisa saling berbagi dengan saudara – saudaranya. Tanpa ilmu, apa yang dilakukan, apa yang dibicarakan tidak pernah sama dengan akalnya, bahkan lika-liku-laku juga tak akan pernah bisa dibedakan dengan Monyet atau sebangsanya. Bukannya Monyet juga suka teriak sana sini, hanya karena melihat sesuatu membuat takjub dirinya?

Lalu, jika manusia lebih buruk dan parah dari Monyet? Hewan apalagi yang cocok untuk bisa menyamai dengan dirinya? Apakah masih tidak ingin untuk kembali pada dasar ilmu dan akal yang menjadi fitrah bagi kita semua?

Laulal ‘ilmu lakaanan naasu kal bahaa-imi
Seandainya tiada berilmu niscaya manusia itu seperti binatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *