Sekian warsa, merantau ke ujung kota. Dari yang tak pernah terduga, memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran, tidaklah cukup mampu menahan rasa rindu yang akan dirasakan bertahun-tahun lama. Bukan ingin untuk meninggalkan sanak saudara, jauh pergi. Ini adalah angan untuk terbang bersama doa-doa yang selama ini terpanjat siang dan malam. Pamit pada Ayah dan Ibu, untuk kemudian didoakan. Tak tahan, menahan isak. Air mata, rasanya malu-malu untuk terjun deras, tapi lingkar senyum menahannya. Begitu tabah dan kuat untuk melepas, menitipkan kepada Allah atas semua pinta dalam doa tahajjud, sepertiga malam.
Pulang dari ujung kota, lalu kembali pada rumah, yang diharap-harapkan saat menimba ilmu. Tak cukup hanya berbekal ilmu kering dalam kitab-kitab kuning. Membaca berjuta-juta garis dalam kitab terasa mudah. Tapi untuk mengajarkan, untuk mempraktikkan, untuk menuliskan, rasanya tidak cukup sekian warsa lamanya. Apa ternyata, dahulu masih sebentar untuk belajar?
Penuh tekad, penuh kesucian dan kemurnian hati untuk mau mengajar setalah belajar. Orang-orang baru yang ditemui, tak pernah sama dengan apa yang dipelajari. Hebat sekali, guru-guru yang dahulu baru mengenal kami. Kenal dengan kami saja, sebelumnya tidak. Tapi, setelah banyak meraup ilmu ilmu dan menadah doa darinya, kami jatuh hati, bahkan tidak ingin ditinggal pergi. Lalu, sekarang. Adalah giliran kami yang harus berdiri.
Pelajaran mengenal murid, tidak bisa disamakan dengan mengenal karakter atau tokoh fiktif yang dibuat dalam sebuah alur film dan cerita. Para penyair dan novelis, memang sering kali terinspirasi dari sifat dan watak dalam dunia nyata. Tapi, itu hanya transliterasi makna pada suatu momen saja. Tidak setiap saat dan waktu bisa menyamakan kisah setiap harinya. Satu murid yang ditemui, jika harus dipelajari. Haruslah membaca lebih dari puluhan buku untuk bisa benar-benar mengenali. Tapi, rasanya tidak perlu menghabiskan waktu untuk membaca buku demi mengenal betul karakternya. Tak perlu membaca, duduklah, jadilah bagian dari hidupnya, dan jadikanlah ia sebagai bagaian cerita dalam buku kehidupan kita.
Akan ada banyak hal yang kembali teringat, saat hati benar-benar murni ingin dipenuhi ilmu yang baru didapat. Kalau memang, merasa kurang tahu, pastilah ingin untuk belajar dan menempa diri. Lalu, bagaimana jika memang diri masih kurang dan harus mengajarkan lagi? Bukannya ilmu ini masih harus ditambah lagi?
Janganlah risau, karena ilmumu tak sampai. Dengan tulus, orang yang mau mengajar, akan dilipatgandakan keberkahan, akan dilipatgandakan kekayaan. Ya, kaya hati, kaya ilmu, kaya iman, kaya amal, kaya jasa, kaya kehormatan, kaya teman, dan kaya-kaya lainnya. Lalu mengapa tak mau menjadi kaya, hanya karena merasa tak mampu untuk mengajarkan? Ajarkanlah, lalu kau justru banyak mendapatkan ilmu yang kau ajarkan.
Allah tak akan membiarkanmu sendiri dalam kefanaan dan kenistaan. Tetaplah beriman, percaya bahwa biji-biji yang kau tanam hari ini, akan berbuah di hari akhir kelak. Kau mau mengajar setitik, maka akan lahir ilmu yang kau ketik hari ini. Kembalilah, atas nama ilmu yang Allah beri untuk kau ajarkan kembali. Tetaplah beriman, bahwa ilmu yang kau ajarkan hari ini, tak akan pernah berkurang, justru bertambah dan melimpah ruah atas embun keikhlasan yang menyiramkan pada akar aqidahmu yang kuat hari ini.
Sekian warsa, waktu yang tidaklah sempit. Maka luaskanlah, semua tentang makrifatmu dengan kembali mendengarkan, kembali menuliskan, kembali mengajarkan, dan kembalikanlah dirimu pada Tuhan. Masih ada banyak ilmu yang harus kau tanam, pada setiap benih-benih kehidupan anak cucumu kelak. Tumbuhlah subur, pada setiap keberkahan.
Al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy syajari bilaa tsamarin
Ilmu tanpa pengamalan bagaikan pohon tak berbuah.