Hampir setiap nafas, Ibuku sebagai sekolah pertamaku mengenalkanku tentang dunia. Ibu berpesan, “bahwa dunia memang harus bisa kau genggam. Tapi, jangan lupa ada akhirat yang harus pegang erat.”

image

Huruf demi huruf, menjadi kata lalu dirangkai menjadi kalimat. Aku lancar berbicara. Membaca dan menulis, bukan hanya tentang alfabet dan angka. Tapi juga hijaiyah yang akan menjadi password menuju Syurga. Bagaimana jika aku tak bisa lolos menuju akhirat-Nya. Jika aku tak pandai berdoa pada Rabbana?

Sejak membuka netra, melihat ragam rupa dan warna. Ibu tak pernah bosan mengajak berbicara dan bertanya. Juga tak bosan mendengarku cerita yang tak penting untuk diuraikan. Tapi, ucapan ucapan yang begitu indah dilontarkannya, seakan menjadi doa dan nina bobo termerdu untuk didengar. Tak jemu, ibu menjelaskan dan kembali mengajarkan tentang apa yang kuingin tahu, sekali dua kali bertanya. Ibu tak pernah membentak. Dengan sabar, akan kembali menjelaskan.

Jika memang harus marah, karena aku tak jua mengerti. Tak faham dengan apa yang dikatakan. Ibu selalu membelai hangat, lalu meminta maaf. Karena Ibu tahu, aku tak akan pernah menjadi bodoh, jika aku mau mendengarkan lamat lamat kemudian. Lalu, kembali mengeja setiap faham dan makna, diiringi doa yang selalu dipanjatkan sebelum mengucapkan.

Pernah, suatu hari aku bertanya? “Dzikir khusus apa yang engkau dawamkan saat mengajarkanku, wahai Ibu?” Lalu, Ibu hanya tersenyum manis, menjadi sebuah jawaban. “Tidak ada, semua doa yang kulantunkan adalah doa doa kebaikan untukmu, anak anakku. Bukankah Allah Maha Mengetahui dan Maha Memahamkan kepada setiap hamba-Nya?” Ibu selalu mengatakan, bahwa Allah selalu memberi petunjuk bagi hamba-Nya yang berada dalam kesesatan. Wawajadaka dhlaallan, fahadaa; Allah menemukanmu dalam keadaan tersesat, lalu Dia memberikanmu petunjuk.

Jadi, ketika saat ini semua orang menanyakan tentang resep dan rumus terbaikku saat belajar? Aku tak pernah punya apa apa untuk bisa kubagikan. Aku hanya menyarankan untuk bertanya pada Ibuku. Bahkan Ibuku sendiri, sebenarnya selalu jujur, bahwa tak pernah ada kurikulum yang disusun untuk bisa menjadikan anak – anaknya sempurna dan mencapai keberhasilan seperti saat ini. Ibu tak pernah membuat suatu program tertulis untuk bisa mendidik, membimbing, mengajar dan bisa menemaniku hingga tumbuh kembangku saat ini. Ibu hanya bilang, Ibu tak pernah berhenti meminta petunjuk dan berdoa kepada Allah, agar selalu diberi karunia terbaik dalam hidup, dan itu dengan wujud anak anak shalih dan shalihah kelak, dan akhirnya selalu bisa menjadi amalan yang tak pernah terputus di akhirat.

Ibu, memang selamanya menjadi sekolah pertama. Ibu memang tak pernah duduk di bangku perkuliahan seperti anak anaknya saat ini, tak pernah bergelar sarjana, dokter, profesor, ataupun gelar terbaik yang dimiliki akademisi lain. Tapi ilmu yang diajarkan, dialirkan adalah ilmu yang tak akan pernah bisa digantikan posisinya meski oleh profesor atau guru besar lainnya.

Ibu tak hanya membangun sekolah dasar, menengah dan universitas seperti yang pernah kuhabiskan masa untuk menuntut ilmu di dalamnya. Ibu, membangun universitas kehidupan sejak lahir dan akan menjadi pedoman di masa depan. Bukan kitab, jurnal, tesis, disertasi yang menjadi materi pelajaran dan kuliah. Ibu hanya berpegang Al Quran dan Sunnah untuk diajarkan pada anak anaknya. Memang bukan hanya kamu menjadi apa dan siapa di masa yang akan datang. Tetapi, Ibu selalu mengajarkan untuk selalu kembalilah pada Tuhanmu, hormatilah Abah dan Ibumu. Itu jauh lebih hebat dari titel yang kamu sandang meski Abah dan Ibu tak bisa menyaksikanmu di masa depan.

Terima Kasih, Abah dan Ibu.

Abah, yang selalu melindungi, mendekap dengan kasih sayang yang sangat lengkap. Ibu, yang selalu menjadi sumber dan pusat dari segala sesuatu yang ada di dunia yang kian berputar.

Jagalah kedua orang tua kami. Orang yang kini berada di sekitar kita, boleh menjauh dan tak lagi ingin bersama. Tapi jangan orang tua kita. Nanti dunia berhenti berputar.

Al-‘ilmu fish shighari kan naqsyi ‘alal hajari
Ilmu pengetahuan di waktu kecil itu, bagaikan ukiran di atas batu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *